Dalam kehidupan ini, manusia tak luput dari berbagai risiko: sakit, kecelakaan, kehilangan harta, kebakaran, bahkan kematian. Semua ini adalah bagian dari takdir yang tidak bisa dihindari. Dalam menghadapi segala bentuk risiko tersebut, seorang Muslim hendaknya memiliki keyakinan bahwa tempat bersandar dan bergantung yang paling utama dan sempurna adalah hanya kepada Allah Ta’ala.
Allah berfirman:
“Dan hanya kepada Allah-lah hendaknya kamu bertawakkal, jika kamu benar-benar orang yang beriman.”
(QS. Al-Maidah: 23)
Tawakkal adalah menyerahkan urusan kepada Allah dengan tetap melakukan ikhtiar yang sesuai syariat. Dalam konteks ini, muncul pertanyaan: apakah dengan mengikuti program asuransi berarti kita bersandar kepada selain Allah?
Bersandar atau bergantung kepada Allah mencakup keyakinan bahwa hanya Dia yang Maha Mengatur segala sesuatu, termasuk takdir baik dan buruk. Sementara manusia diperintahkan untuk berusaha dengan cara yang halal dan dibenarkan, tanpa menaruh kebergantungan hati kepada sebab itu sendiri.
Sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ:
“Seandainya kalian bertawakkal kepada Allah dengan sebenar-benarnya tawakkal, niscaya kalian akan diberi rezeki sebagaimana burung yang pergi pagi dalam keadaan lapar dan pulang sore dalam keadaan kenyang.”
(HR. Tirmidzi)
Artinya, usaha tidak menghilangkan tawakkal. Justru, tawakkal yang benar adalah ketika seseorang berusaha dengan cara yang syar’i, namun tetap yakin bahwa hasilnya datang dari Allah semata.
Asuransi konvensional adalah suatu perjanjian antara pihak tertanggung dan perusahaan asuransi, di mana pihak tertanggung membayar premi, dan perusahaan akan memberikan ganti rugi atas risiko-risiko tertentu sesuai perjanjian (seperti kecelakaan, kebakaran, atau kematian).
Namun, dalam praktiknya, asuransi konvensional sering mengandung unsur-unsur yang bertentangan dengan prinsip syariah, seperti:
Gharar (ketidakjelasan): Tidak jelas kapan risiko terjadi dan berapa besar manfaat yang akan diterima.
Maisir (judi): Premi yang dibayarkan bisa hangus tanpa manfaat jika tidak terjadi klaim.
Riba (bunga): Investasi dana premi sering dikelola pada instrumen berbunga.
Karena mengandung unsur-unsur ini, mayoritas ulama memfatwakan bahwa asuransi konvensional tidak diperbolehkan secara syariah.
Sebagai solusi, muncullah asuransi syariah (takaful) yang dirancang agar sejalan dengan prinsip-prinsip Islam. Dalam asuransi syariah:
Peserta saling tolong-menolong (ta’awun): Premi dianggap sebagai dana tabarru’ (hibah) yang dikumpulkan untuk membantu peserta lain yang tertimpa musibah.
Dikelola secara transparan: Dana milik peserta, dan perusahaan hanya sebagai pengelola (mudharib).
Investasi dilakukan secara halal: Menghindari sektor riba, judi, dan haram lainnya.
Ada Dewan Pengawas Syariah: Memastikan kegiatan dan akad-akad sesuai prinsip Islam.
Dengan demikian, asuransi syariah bukan bentuk menggantungkan diri kepada selain Allah, melainkan bentuk ikhtiar kolektif yang sesuai dengan nilai tolong-menolong dalam Islam, sambil tetap menyandarkan hasilnya hanya kepada Allah Ta’ala.
Mengikuti asuransi (dengan catatan sesuai syariah) tidak serta merta menandakan seseorang tidak tawakkal kepada Allah. Justru, ia sedang melakukan ikhtiar menjaga diri dan keluarganya dari risiko tak terduga, sebagaimana seseorang bekerja untuk mencari nafkah.
Yang menjadi masalah adalah ketika seseorang menganggap bahwa asuransi-lah yang menyelamatkannya, dan menggantungkan hatinya sepenuhnya kepada lembaga manusiawi tersebut, hingga lupa bahwa Allah-lah Dzat yang Maha Melindungi dan Maha Menjamin (Al-Hafizh dan Al-Kafi).
Jadi, pertanyaan “Apakah asuransi membuat kita bersandar kepada selain Allah?” tidak bisa dijawab dengan “ya” atau “tidak” secara mutlak. Tergantung pada jenis asuransi yang digunakan, niat dalam hati, dan bagaimana seseorang menempatkan tawakkalnya.
Bila asuransi dijadikan sebagai sarana ikhtiar yang halal dan hati tetap bergantung kepada Allah, maka tidak mengapa. Namun, bila hati bergantung sepenuhnya kepada manusia dan melupakan Allah sebagai pemberi perlindungan sejati, itulah yang perlu diwaspadai.
Mari kita jadikan Allah sebagai satu-satunya tempat bersandar dalam segala keadaan, sambil terus berikhtiar dengan cara yang diridhai-Nya.
“Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung.”
(QS. Ali Imran: 173)
Wallahu a’lam bi showab

Tersenyumlah.