Jika anda memiliki pohon rambutan kemudian pohon tersebut baru berbuah. Maka pasti anda bahagia dengan kondisi itu. Tetapi, kebahagian itu bisa saja hilang seketika, ketika anda ceroboh dan tidak sabar. Ceroboh karena anda telah melakukan hal yang fatal. Seharusnya anda bisa menikmati buah rambutan itu dengan kenyang. Membagikannya kepada keluarga, tetangga dan teman. Namun, karena kecerobohan anda, justru anda sendiripun tidak bisa menikmati itu ketika anda sengaja memetik rambutannya sebelum matang.
Anda juga tidak sabar karena ingin segera mencicipi buah pohon yang telah anda rawat, siram dan tunggu-tunggu. Barang kali anda bertanya, “Tidak sabar bagaimana? Saya telah bertahun-tahun merawatnya sampai sekarang. Kalau tidak sabar, sudah dari dulu saya biarkan bahkan saya tumbangkan karena menghalangi rumah”. Iya, saya paham dengan dalih anda. Kalau anda sabar sudah pastilah anda bisa menikmati, realitanya bagaimana? Apakah anda bisa nikmati?.
Itulah sebabnya ada pepatah berkata, bahwa sabar itu tidak ada batasnya. Jika anda menahan diri dan sabar sedikit lagi. In syaa Allah, anda bisa menikmatinya. Saya juga paham dengan anda yang sudah lama menunggu dan menanti. Sekali lagi, penantian anda itu terkhianati dengan kesabaran yang anda penggal-penggal.
Ada kaidah fikih yang berbunyi,
مَنِ اسْتَعْجَلَ شَيْئًا قَبْلَ أَوَانِهِ عُوْقِبَ بِحِرْمَانِهِ
“Siapa yang buru-buru atau tergesa-gesa mendapatkan sesuatu sebelum waktunya, maka ia dihukumi haram untuk mendapatkannya.” Pada dasarnya kaidah fikih itu dipakai untuk dijadikan standar atau menilai suatu aktifitas yang berkaitan dengan fikih. Atau dikenal dengan objek fikih. Namun, pada tulisan ini, kaidah ini kita coba explore lebih jauh.
Biasanya para ulama mempraktikan kaidah ini pada seorang anak yang membunuh ayahnya, dengan alasan si anak ingin mendapatkan jatah warisan. Pada dasarnya, Allah telah menyiapkan bagian atau jatah warisan ketika ayahnya wafat dan meninggalkan harta. Tapi, karena ayahnya wafat dibunuh si anak, yang awalnya si anak memiliki jatah, jatahnya itu terhapus bahkan dia diharamkan untuk meminta jatah warisan sebab ketergesa-gesaan dia dengan membunuh sang ayah.
Kaidah ini bisa kita praktikan juga dalam kehidupan sehari-hari. Misal ketika seseorang ingin menjadi pejabat, kalau dia dicalonkannya itu karena dia membayar sejumlah uang. Bukan dipilih karena kompetensi. Maka ketika dia menjabat bukan kebaikan yang akan dia dapatkan. Melainkan jabatan itu justru akan menjatuhkan kehormatan dan martabatnya. Masih mending, jika kebetulan dia seseorang yang memiliki kompetensi. Tidak akan terlalu berefek buruk. Namun pada dasarnya jabatan atau amanah juga bukan untuk diminta. Kalau dia menginginkan jabatan karena banyak niat kebaikan. Lebih baik dia tempa dulu dirinya sehingga memiliki kompetensi yang cukup untuk menjadi pejabat.
Ketika ‘matang’, sunnatullah, ketepatan atau kelayakan itu sudah ada. Maka itu adalah momentum yang cocok untuk memutuskan. Waktu yang tepat untuk mengambil kesempatan. Dan pada akhirnya kebaikan-kebaikan akan bisa nampak, kenikmatan-kenikmatan itu akan bisa dirasakan. Jika tanda-tanda itu belum terlihat, maka menahan diri untuk berlatih, itu yang lebih baik. Kaidah ini bisa kita terapkan juga dalam case yang lain.
Pengampu mata pelajaran fikih di kampus As-syifa Boarding School Wanareja