Mawas diri lejitkan Potensi, sering penulis sampaikan dalam tulisannya. Sebuah refleksi hasil dari sebuah pengalaman, peristiwa yang dialami penulis dalam hidup. Suatu hari penulis melihat sebuah pemandangan sederhana yang hampir kita temui di sekolah: keramaian di Minimarket sekolah dan kantin saat jam istirahat. Aroma hidangan yang hangat, suara riuh tawa teman-teman, dan langkah tergesa mereka yang tak sabar ingin segera mendapat makanan. Semua bercampur menjadi suasana khas yang senantiasa kita rindukan, menjadi sebuah cerita kisah klasik untuk format masa depan.
Namun, di balik keramaian itu, ada hal kecil yang sering luput dari perhatian: budaya antri. Tak jarang kita masih melihat ada yang terburu-buru, saling dorong, bahkan menyerobot, demi lebih cepat dilayani. Sekilas, memang terlihat biasa saja. Tetapi coba kita renungkan sejenak: benarkah hal kecil itu tidak berpengaruh?
Justru dari hal-hal kecil seperti inilah, karakter kita dibentuk.
Antri: Melatih Sabar dan Menghargai Sesama
Antri bukan sekadar berdiri berbaris menunggu giliran. Lebih dari itu, antri adalah latihan kesabaran. Di sana kita belajar menahan diri, mengendalikan ego, dan memberi kesempatan kepada orang lain sesuai haknya.
Saat kita memilih untuk sabar dalam antrian, sebenarnya kita sedang menghormati orang lain. Kita mengakui bahwa semua orang sama-sama punya hak untuk dilayani, tidak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah. Inilah wujud sederhana yang sempurna dari sebuah nilai keadilan.
Bayangkan jika semua murid terbiasa antri dengan tertib. Kantin akan terasa nyaman, tidak ada teriakan, tidak ada dorong-dorongan, tidak ada wajah kesal karena haknya direbut. Sebaliknya, yang muncul adalah suasana satu hati yang hangat, tenang, dan penuh rasa saling menghargai.
Sentuhan Adab Islami
Islam sendiri sangat menjunjung tinggi keteraturan dan keadilan. Bahkan dalam hal yang terlihat sederhana, Rasulullah ﷺ selalu memberi teladan tentang akhlak serta adab. Dalam Islam, adab kecil sering kali menjadi cermin dari keimanan. Kita diajarkan untuk menghormati sesama dan tidak mengambil hak orang lain.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
”Janganlah kalian saling dengki, melakukan najasy/gharar (penipuan) , saling membenci, saling membelakangi dan sebagian dari kalian menjual apa yang dijual saudaranya. Jadilah kalian semua hamba-hamba Allah yang bersaudara. Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lain, sehingga dia tidak boleh menzhaliminya, menghinanya, mendustakannya dan merendahkannya. Takwa itu letaknya di sini –sambil menunjuk ke dadanya sebanyak tiga kali– cukuplah seseorang itu dalam kejelekan selama dia merendahkan saudaranya sesama muslim. Setiap muslim terhadap muslim lainnya haram dan terjaga darah, harta dan kehormatannya.”
(HR. Muslim, no. 2564)
Menyerobot antrian mungkin terlihat kecil, tapi sesungguhnya itu adalah bentuk merugikan orang lain. Kita mengambil hak yang seharusnya bukan milik kita. Bukankah itu termasuk bentuk kezhaliman?
Maka, hanya satu, fokus dengan mengantri sebenarnya sedang melatih diri bersikap untuk tidak menzhalimi orang lain, sekaligus menanamkan rasa tanggung jawab sosial.
Ketika Antri Menjadi Budaya
Coba Bayangkan jika budaya antri telah menjiwai hidup di sekolah kita. Setiap Murid datang ke kantin, tersenyum, lalu berdiri rapi menunggu giliran. Tidak ada yang merasa lebih penting, tidak ada yang merasa lebih berhak. Semua dihargai.
Apakah itu mungkin? Sangat mungkin. Tapi tentu dimulai dari kesadaran diri masing-masing.
Seluruhnya bisa memberi teladan dengan ikut antri. Kakak kelas bisa menunjukkan contoh kepada adik kelas. Dan teman-teman bisa saling mengingatkan dengan cara yang santun. Lambat laun, budaya itu akan tumbuh dan terasa indah.
Dari Kantin ke Kehidupan Nyata
Ada yang bilang, “Mengapa harus repot membahas soal antri? Itu kan hal sepele.”
Justru di situlah letak maknanya. Hidup adalah sebuah perjuangan, dibangun dari kebiasaan-kebiasaan kecil. Kalau kita terbiasa tertib dalam hal sederhana seperti antri di kantin, maka kita juga akan lebih mudah disiplin dalam hal-hal besar: tertib berlalu lintas, tertib mengantri di ATM, tertib antri di loket, hingga tertib dalam pekerjaan dan kehidupan bermasyarakat.
Budaya antri di kantin hanyalah miniatur kehidupan nyata. Kalau kita mampu menjaga keteraturan di sana, InsyaAllah kita juga mampu menjadi pribadi yang tertib di mana pun berada.
Mari Kita Mulai dari Sekarang
Mulailah dengan diri sendiri. Saat jam istirahat tiba, mari budayakan untuk antri. Kalau ada yang mencoba menyerobot, hadapi dengan senyuman, sampaikan dengan sopan dan kata-kata baik. Jika ada adik kelas yang bingung, tuntun dengan sabar.
Perubahan tidak harus dimulai dengan sesuatu yang besar. Cukup dengan berdiri tenang dalam antrian, kita sudah memberi contoh nyata bahwa kita peduli, sabar, dan menghargai sesama.
Kesimpulan
Budaya antri di kantin adalah cermin kecil dari siapa kita. Apakah kita pribadi yang sabar atau tergesa-gesa? Apakah kita menghargai hak orang lain atau hanya mementingkan diri sendiri?
Mari kita jadikan antri bukan sekadar aturan sekolah, tetapi sebagai bagian dari karakter kita. Karena dari antri, kita belajar tentang mengenai kesabaran, keadilan, dan kebersamaan.
Kantin sekolah bukan hanya tempat makan, tetapi juga tempat kita belajar menjadi manusia biasa yang diridhai Allah.
Saudaraku… mulai hari ini mari kita budayakan antri dimanapun berada. InshaAllah perubahan besar selalu berawal dari sebuah langkah sederhana.
Wallahu’alam Bi Shawab
Prinsip jurnalistik SMAIT Assyifa Wanareja Boarding School Subang :
Do the best…