Belajar Ekonomi: Ketika Liberalisme Menjadi Munafik, Islam Menawarkan Jalan Ekonomi yang Konsisten

Belakangan ini dunia ramai ketika Donal Trump terpilih kembali menjadi presiden Amerika Serikat, banyak kebijakan beliau yang membuat polemik. Salahsatunya adalah penerapan tariff impor terhadap barang-barang yang masuk ke negara yang mengklaim superpower tersebut. Defisitnya neraca perdagangan mereka terhadap beberapa negara, dan bergantungnya mereka dengan barang-barang dari luar negeri serta tidak mampunya mereka bersaing dengan barang-barang luar negeri yang lebih murah menjadikan Amerika Serikat lebih protektif lagi terhadap perdagangan bebasnya. Inilah inkonsistensi yang sering dilakukan oleh negara yang mengklaim dirinya sebagai Si Paling Liberal, Si Paling HAM dsb.. Namun kenyataan yang terjadi adalah sebaliknya.

Ide besar liberalisme salah satunya adalah menghilangkan semua hambatan dalam perdagangan internasional. Dalam kerangka liberalisme ekonomi klasik (seperti yang dikemukakan oleh Adam Smith, David Ricardo), prinsip dasarnya adalah:

  • Kebebasan pasar: pasar dianggap mampu mengatur dirinya sendiri.

  • Minimnya intervensi negara: pemerintah sebaiknya tidak mengatur terlalu banyak dalam aktivitas ekonomi.

  • Perdagangan bebas (free trade): dianggap sebagai cara paling efisien untuk meningkatkan kemakmuran semua pihak.

Dalam konteks ini, tariff impor (bea masuk) yaitu pajak atas barang dari luar negeri—justru dianggap penghambat kebebasan pasar dan menyalahi prinsip kompetisi bebas.

Kebijakan tarif yang diterapkan Presiden Donald Trump selama masa jabatannya, terutama kepada Tiongkok, Meksiko, dan beberapa negara Eropa, sebenarnya bertentangan dengan prinsip liberalisme:

  • Tujuan tarif Trump: melindungi industri domestik, mengurangi defisit perdagangan, dan “mengembalikan lapangan kerja ke Amerika”.

  • Kenyataan: ini adalah bentuk proteksionisme, yang sebenarnya merupakan pendekatan merkantilis, bukan liberal.

Filosofisnya, ini menunjukkan bahwa dalam praktiknya, bahkan negara-negara yang mengklaim sebagai penjunjung tinggi pasar bebas bisa melanggar prinsip itu demi kepentingan nasionalisme ekonomi atau populisme politik.

Dalam Islam, prinsip dasar ekonomi didasarkan pada keadilan (al-‘adl), keseimbangan (tawazun), dan kemaslahatan (maslahah). Bagaimana Islam memandang kebijakan seperti tarif?

Tarif dalam Sejarah Islam (al-Maks)

  • Dalam sejarah Islam, pungutan atas barang dagangan asing dikenal sebagai al-maks.

  • Rasulullah ﷺ melarang al-maks yang zalim  artinya, jika pungutan itu mengandung kezaliman, merugikan rakyat kecil, atau hanya menguntungkan penguasa, maka hukumnya haram.

  • Namun, jika pungutan tersebut dilakukan demi menjaga keadilan, mencegah eksploitasi, atau melindungi masyarakat, maka diperbolehkan.

Dalil dan Prinsip Umum

  • Dalam QS. Al-Baqarah [2]: 279 ditegaskan larangan riba karena menzalimi, maka tarif juga harus dinilai dari aspek keadilan dan tidak merugikan satu pihak secara berlebihan.

  • Dalam kaidah fiqih:

    “Tasharruf al-imām ‘ala ar-ra’iyyah manūṭun bi al-maslahah”
    (Kebijakan pemimpin terhadap rakyat harus berdasarkan kemaslahatan).

Maka, tarif dapat dibenarkan dengan syarat:

  • Bertujuan melindungi ekonomi lokal dari eksploitasi.

  • Tidak membebani masyarakat secara tidak adil.

  • Diberlakukan secara transparan dan proporsional.

Tarif dalam konteks liberalisme adalah semacam “penyimpangan terpaksa”, sedangkan dalam Islam, tarif bisa dibenarkan bila bertujuan untuk keadilan dan kemaslahatan. Ini menunjukkan bahwa Islam lebih fleksibel dan kontekstual, bukan ideologis kaku seperti sistem liberalisme ekonomi.

Surah Ar-Ra’d ayat 16

نَقُولُ اللَّهُ ۚ قُلْ أَفَمَن يَعْلَمُ أَنَّمَا أُنزِلَ إِلَيْكَ مِن رَّبِّكَ الْحَقُّ كَمَنْ هُوَ أَعْمَىٰ ۚ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُو۟لُوا۟ ٱلْأَلْبَـٰبِ

“Katakanlah: ‘Apakah sama orang-orang yang mengetahui bahwa apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itu benar dengan orang yang buta?’ Hanya orang yang berakal yang dapat mengambil pelajaran.”

Ayat ini menegaskan bahwa kebenaran (al-haq) yang datang dari Allah tidak akan pernah sama dengan kebatilan, sebagaimana orang yang melihat tidak sama dengan orang yang buta. Ini menandakan kontras yang tajam dan prinsipil, bukan kompromistis seperti pendekatan ideologi manusia yang sering berkompromi atas nama “keseimbangan” atau “fleksibilitas”.

Wallahu a’lam bi showab