Belajar Ekonomi; Teori Moral Individualis dan Perspektif Islam Dalam Menyikapinya

Belajar Ekonomi; Teori Moral Individualis dan Perspektif Islam Dalam Menyikapinya

Belajar Ekonomi; Teori Moral Individualis dan Perspektif Islam Dalam Menyikapinya

Pernahkah saudara melihat sebuah keteraturan di masyarakat? Polisi, guru, jaksa, hakim dan semua profesi lainnya bekerja sesuai tupoksi dan tanggung jawabnya masing-masing. Pertanyaannya? Apakah yang melatarbelakangi keteraturan ini? Hal ini lah yang akan kita bahas di artikel ini. Mari kita simak bersama-sama.

Sebelum Adam Smith dinobatkan sebagai bapak ekonomi modern, beliau awal mulanya adalah seorang profesor moral. Ada satu teori moral dari beliau yang saya bilang terobosan pada zamannya. Begini penjelasannya, menurutmu? Apakah alasan dari petani bangun pagi-pagi untuk mengolah tanah, menanam dan bekerja keras di sektor pertanian? Apakah agar seluruh masyarakat dapat memperoleh makanan? Apakah agar seluruh masyarakat tidak kelaparan? Bukan itu alasan yang sebenarnya, menurut Adam Smith jika seseorang bersikap individualis maka akan terjadi keteraturan, petani tadi sebetulnya bersikap individualis, dia butuh uang untuk memenuhi kebutuhannya sendiri, makanya dia bekerja keras mengolah tanah dari awal sampai panen, setelah panen dia menjualnya ke pasar dan memperoleh uang dari hal tersebut.

Begitu juga yang terjadi pada guru, apakah seorang guru yang bangun pagi-pagi kemudian bersiap untuk mengajar dan pergi ke sekolah kemudian sorenya pulang lagi alasannya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa? Alasannya agar tidak ada lagi orang bodoh di dunia ini? Bukan itu alasannya, jika kita menggunakan teori moral individualis tadi, alasannya adalah orang yang berprofesi sebagai guru tersebut membutuhkan uang untuk menjalani hidup. Karena dia butuh, maka dia akan bekerja sebaik mungkin agar kebutuhan hidupnya dapat terpenuhi, guru tadi sebetulnya sudah bersikap individualis.

Begitu juga ketika kita melihat suatu fakta bahwa kasus korupsi di negara maju sedikit jumlahnya, yakinilah itu bukan karena mereka taat hukum. Sedikitnya kasus korupsi di negara maju karena pejabatnya bersikap individualis, mereka tidak mau merugikan diri mereka sendiri. Sistem keuangan di negara maju sudah canggih dengan singgel identitynya, sangat mudah mendeteksi rasywah, suap dan bentuk gratifikasi lainnya apalagi jika ada penambahan harta yang luar biasa di rekeningya, atau rekening salah satu keluarganya meningkat drastis, ini bisa menjadi temuan dan tentu saja sangat mudah mendeteksinya. Jika ketahuan korupsi, kerugian yang akan mereka dapatkan cukup banyak, dihukum penjara, disita hartanya, keluarganya berantakan, anaknya menanggung malu dan hukuman sosial lainnya.

Dari teori ini dipahami bahwa, ketika masing-masing individu dari masyarakat bersikap individualis justru akan terjadi yang namanya keteraturan di masyarakat. Hakim yang individualis akan bersikap jujur, jaksa akan jujur, polisi akan jujur dan semua profesi lainnya akan menjalankan peran dan tugas mereka masing-masing dengan baik jika mereka bersikap individualis. Dengan demikian, ketika masing-masing profesi menjalankan perannya dengan baik, maka akan tercapai keteraturan di masyarakat bahkan sampai level negara.

Jika kamu memiliki status sebagai murid, dan kamu bersikap individualis. Misal, ingin masuk jurusan Hukum di Universitas Indonesia. Karena tujuan ini, kamu akan belajar dengan tekun, menghindari segala macam kecurangan yang akan merugikan dirimu sendiri. Bayangkan saja jika satu kelas tadi semua muridnya bersikap individualis, maka justru akan terjadi keteraturan di kelas tersebut.

jika kamu seorang muslim, kita harus memahami bahwa seluruh ibadah kita, sholat kita, sedekah kita dan ibadah yang lain sejatinya untuk diri kita sendiri. Allah ta’ala tidak membutuhkan ibadah kita sama sekali. Kita sebagai muslim bersikap individualis, ingin surga dan takut memasuki neraka. Ketika setiap muslim bersikap individualis, mementingkan dirinya sendiri. Maka muslim tersebut akan menjalankan seluruh perintah dan menjauhi seluruh larangan Allah ta’ala yang tercantum di dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits. Dengan demikian, akan terjadilah suatu keteraturan di masyarakat muslim, karena masing-masing dari mereka takut diancam dengan neraka dan ingin memperoleh surga. Muslim tersebut akan menjadi pribadi yang jujur, tidak korupsi, bersikap baik dan akhlak terpuji lainnya.

Jika kita membaca qur’an surat Al-Baqarah ayat 21:

wahai manusia! Sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dan orang-orang yang sebelum kamu, agar kamu bertakwa.

Disini kita memang melihat adanya perintah untuk beribadah kepada Allah ta’ala. Namun ini bukan berarti Allah ta’ala butuh akan ibadah kita. Melainkan, kitalah manusia yang butuh terhadap ibadah yang Allah ta’ala perintahkan.

Hal ini diperkuat dengan hadis qudsi;

Wahai hamba-Ku, seandainya seluruh manusia dan jin dari awal penciptaan sampai akhir penciptaan. Seluruhnya menjadi orang yang paling bertakwa, hal itu sedikitpun tidak menambah kekuasaan-Ku. Wahai hamba-Ku, andai seluruh manusia dan jin dari awal penciptaan sampai akhir penciptaan. Seluruhnya menjadi orang yang paling bermaksiat, hal itu sedikitpun tidak mengurangi kekuasaan-Ku (HR. Muslim, No. 2577)

Dari hadis qudsi ini kita memahami bahwa walaupun seluruh manusia dan jin memiliki akhlak yang baik, ibadanya mantap djiwa, atau mereka luar biasa bertakwa. Semua hal tadi, tidak menguntungkan Allah ta’ala sedikitpun.

Begitu juga sebaliknya, walaupun seluruh manusia dan jin di muka bumi tidak pernah beribadah kepada Allah, hanya membuat kerusakan saja, peperangan, kebencian, permusuhan, maksiat, atau kejahatan paling keji sekalipun, itu tidak akan merugikan Allah ta’ala sama sekali.

Lantas untuk siapakah ibadah kita itu? sebenarnya siapakah yang mendapat manfaat dari ibadah yang kita lakukan?

Mohammad Arkoun dalam bukunya Nalar Islami Nalar Modern (1994) menjelaskan bahwa ibadah yang Allah perintahkan tidak ditujukan untuk menciptakan Muslim yang saleh secara ritual dan saleh terhadap Allah ta’ala semata. Bagi Arkoun, peribadatan seharusnya dilakukan seorang untuk menghasilkan kesalihan privat dan sosial, karena demikianlah substansi peribadatan yang dimaksudkan dan diperintahkan oleh Allah ta’ala. Disini artinya adalah ibadah kita sebenarnya untuk kebutuhan diri kita sendiri, bukan untuk Allah.

Setelah penjelasan panjang lebar ini, jika kamu seorang guru, masihkah kamu berkata, saya ingin mencerdaskan kehidupan bangsa, saya tidak ingin ada kebodohan di dunia ini? jujurlah dengan diri sendiri, jangan dusta. Begitu juga profesi-profesi lainnya, apakah alasan yang menggerakkanmu bangun pagi untuk giat bekerja, pasti karena niat personal yang ada pada dirimu bukan. Perlu dicatat juga, tidak berdosa bagi seorang muslim bekerja mencari maisyah. Bahkan wajib hukumnya bagi laki-laki muslim mencari penghidupan yang halal. Mencari uang untuk memenuhi kebutuhan hidupannya sendiri itulah individualis.

Jika setiap orang bersikap individualis, maka orang tersebut akan bekerja dengan sebaik mungkin sesuai profesinya. Dia akan profesional, dia akan bertanggung jawab. Dan luar biasanya, justru karena sikap individualis dari masing-masing individu tadi,  akan menciptakan yang namanya keteraturan di masyarakat. Masyarakat akan damai, lingkungan nyaman ditinggali, tidak ada permusuhan, pertengkaran, perpecahan dan masalah lainnya karena masing-masing sudah sadar akan tugas, tanggung jawab dan tujuan hidupnya.

Namun yang perlu diingat adalah setiap perbuatan kita sebagai muslim, apapun itu dapat bernilai sebagai ibadah. Sama-sama petani, sama-sama mengolah tanah, tapi jika diniatkan untuk ibadah maka dua hal yang akan dia dapatkan, dunia dan akhirat. Dalam perspektif ilmu kapitalis, sejatinya keuntungan yang didapat hanya dunia saja. Muslim justru sudah jauh didepan, dunia dan akhirat (falah). Wallahu a’alam bi showab.