Setiap hari, anak-anak mendengar begitu banyak kata dari orang dewasa di sekitarnya—entah dari orang tua, guru, atau teman sebaya. Kata-kata itu mungkin terdengar sederhana, tetapi dampaknya bisa sangat besar. Ada kata yang membuat mereka bersemangat, ada juga yang justru membuat mereka merasa kecil hati. Dari sinilah kita sadar, kekuatan berpikir positif dan kekuatan perkataan bukan sekadar teori, tetapi nyata dalam membentuk kepribadian dan masa depan anak-anak.
Positive thinking bukan berarti anak harus selalu bahagia tanpa masalah. Bukan juga tentang mengabaikan kenyataan. Justru sebaliknya, berpikir positif adalah kemampuan untuk melihat peluang di balik tantangan, serta tetap optimis meski menghadapi kesulitan.
Bayangkan seorang anak yang mendapat nilai jelek di ujian matematika. Kalau ia terbiasa berpikir negatif, pikirannya bisa langsung, “Aku bodoh… aku nggak bisa matematika.” Pikiran ini, jika dibiarkan, bisa menghambat semangat belajarnya.
Tapi kalau ia terbiasa berpikir positif, ia mungkin berkata, “Nilai ini memang belum bagus, tapi aku bisa belajar lagi supaya lebih paham.” Cara berpikir inilah yang membuat anak tidak mudah menyerah. Di masa depan, anak dengan pola pikir positif akan lebih tangguh menghadapi kegagalan.
Selain cara berpikir, perkataan juga punya pengaruh luar biasa. Kata-kata adalah cerminan pikiran, dan sekali diucapkan, ia bisa menempel lama di hati anak.
Pernahkah kita tanpa sadar mengatakan, “Kamu malas sekali!” atau “Kamu memang nakal!”? Kata-kata seperti itu bisa membentuk label negatif dalam diri anak. Lama-kelamaan, anak akan percaya bahwa dirinya memang malas atau nakal. Inilah yang disebut self-fulfilling prophecy—prasangka yang akhirnya jadi kenyataan karena terus diulang.
Sebaliknya, kata-kata positif seperti, “Kamu bisa mencoba lagi,” atau “Saya percaya kamu mampu,” bisa menyalakan semangat luar biasa. Anak akan merasa dihargai dan termotivasi untuk berusaha lebih baik.
Anak-anak ibarat spons: mereka menyerap apa saja yang ada di sekitarnya. Kalau yang sering ia dengar adalah kritik pedas, makian, atau kata-kata merendahkan, maka ia akan tumbuh dengan rasa percaya diri yang rapuh. Tapi jika yang ia dengar adalah apresiasi, dukungan, dan kata-kata penuh harapan, ia akan tumbuh dengan keyakinan bahwa dirinya berharga dan mampu.
Bahkan, penelitian menunjukkan bahwa anak-anak yang sering mendapat kata-kata positif dari orang tua dan gurunya cenderung lebih percaya diri, lebih gigih dalam belajar, dan lebih mampu mengontrol emosi. Jadi, tidak berlebihan kalau kita mengatakan bahwa perkataan bisa jadi “nutrisi jiwa” bagi anak.
Memberi contoh nyata
Anak belajar dari meniru. Kalau orang dewasa di sekitarnya terbiasa mengeluh atau berkata negatif, anak pun akan melakukan hal yang sama. Maka, biasakan kita sebagai orang tua atau guru menunjukkan sikap optimis. Misalnya, ketika hujan turun saat ada acara, jangan langsung berkata, “Aduh, gagal deh acaranya,” tapi katakan, “Alhamdulillah, hujan adalah berkah. Kita bisa pindahkan acaranya ke dalam ruangan.”
Mengajarkan anak melihat sisi baik dari masalah
Saat anak kecewa atau gagal, dampingi dia menemukan pelajaran dari pengalaman itu. Katakan, “Memang hasilnya belum sesuai harapan, tapi dari sini kamu tahu bagian mana yang perlu diperbaiki.”
Membiasakan afirmasi positif
Ajak anak mengucapkan kalimat sederhana seperti, “Saya bisa belajar,” “Saya anak hebat,” atau “Saya berani mencoba.” Kata-kata afirmasi ini kalau diulang setiap hari bisa menanamkan keyakinan kuat dalam dirinya.
Menghargai usaha, bukan hanya hasil
Dengan menghargai proses, anak belajar bahwa kegagalan bukan akhir dari segalanya. Katakan, “Ibu bangga kamu sudah berusaha keras,” meski nilainya belum sempurna.
Sebagai orang dewasa, kita sering tidak sadar betapa besarnya dampak dari satu kalimat yang kita ucapkan. Maka, beberapa hal berikut bisa jadi pengingat:
Gunakan kata positif untuk koreksi.
Alih-alih berkata, “Kamu salah terus,” coba katakan, “Bagus, tinggal sedikit lagi supaya benar.”
Berikan pujian yang spesifik.
Bukan hanya, “Pintar!” tapi, “Pintar sekali kamu bisa menyusun cerita dengan rapi.”
Hindari label negatif.
Jangan menempelkan identitas buruk pada anak, misalnya “nakal,” “pemalas,” atau “bandel.” Ganti dengan kalimat yang fokus pada perilakunya, bukan pribadinya.
Gunakan kata yang memberi harapan.
Ucapan sederhana seperti, “Coba lagi ya, Ibu yakin kamu bisa,” bisa memberi energi besar pada anak.
Pengalaman saya di kelas sering mengingatkan bahwa kata-kata guru bisa menempel lama di hati murid. Ada murid yang berkata pada saya, “Bu, saya masih ingat waktu Ibu bilang saya bisa, makanya saya terus mencoba.” Saat mendengar itu, saya benar-benar sadar bahwa satu kalimat bisa mengubah jalan hidup seorang anak.
Begitu pula dengan pola pikir positif. Ketika murid terbiasa melihat masalah sebagai tantangan, mereka lebih tahan banting. Mereka tidak cepat putus asa dan berani mengambil langkah baru.
Sebaliknya, ketika murid terbiasa dengan prasangka negatif, baik dari dirinya sendiri maupun dari orang lain, langkah mereka sering tertahan. Maka tugas kita sebagai orang dewasa adalah menanamkan keyakinan baik sejak dini: bahwa mereka mampu, mereka berharga, dan mereka bisa berkembang.
Menumbuhkan positive thinking dan kekuatan perkataan pada anak bukanlah pekerjaan instan. Ia butuh konsistensi, teladan, dan kesabaran. Tetapi hasilnya sangat besar: anak yang tumbuh dengan pikiran positif dan dikelilingi kata-kata penuh harapan akan lebih percaya diri, lebih gigih, dan lebih siap menghadapi dunia.
Kata-kata adalah doa. Pikiran positif adalah energi. Mari kita gunakan keduanya untuk membekali anak-anak kita. Karena bisa jadi, satu kalimat yang kita ucapkan hari ini adalah bekal keberanian mereka untuk meraih masa depan yang lebih baik.
Passionate Informatics Teacher at SMAIT Assyifa Boarding School Wanareja Subang | Empowering Students for Future Success in Technology