- Pengertian Qiraah
Qiraah secara bahasa berasal dari bahasa Arab قِرَاءَاتٌ, bentuk jamak dari قِرَاءَةٌ. Qiraah juga merupakan bentuk masdar dari قَرأ – يَقْرَأُ – قِرَاءَةً.[1] Sedangkan secara istilah, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) artinya hal-hal yang berhubungan dengan cara pembacaan Alquran; pembacaan ayat-ayat Alquran.[2] Sedangkan menurut Az-Zurqani, qiraah adalah:
مذهب يذهب إليه إمام من أئمة القراء مخالفا به غيره في النطق بالقرآن الكريم مع اتفاق الروايات والطرق عنه سواء أكانت هذه المخالفة في نطق الحروف أم في نطق هيئاتها.
Suatu cara membaca Alquran dari seorang imam ahli qiraah yang berbeda dengan imam-imam yang lainnya, sekalipun riwayat dan jalur periwayatannya sama, baik perbedaan itu dalam pengucapan huruf ataupun bentuknya.[3]
Definisi lainnya dikutip oleh Kadar M. Yusuf dari Muhasyin dalam bukunya, bahwa qiraah adalah suatu ilmu yang mengkaji tentang cara menuturkan atau menyampaikan kata-kata (kalimat) Alquran, baik yang disepakati maupun yang diperbedakan sesuai dengan jalan orang yang menukilkannya.[4]
Dari kedua definisi ini dapat dipahami bahwa ilmu qiraah ialah ilmu yang mempelajari cara membaca Alquran yang dilakukan oleh para imam ahli qiraah yang berbeda-beda cara pembacaannya. Adapun yang berbeda cara pembacaannya ialah bukan ayat-ayat Alquran-nya yang berbeda, akan tetapi perbedaan pelafalan pada kata-kata tertentu di dalam setiap ayat dalam Alquran. Atau suatu kata yang bisa dibaca dengan lebih dari satu cara. Perbedaan qiraah dalam Alquran ini juga bukan berarti banyak versi dalam Alquran, bukan pula ada ketidaksepakatan dalam Alquran, bukan pula Alquran-nya yang berbeda. Sungguh Alquran adalah kitab suci yang mulia, yang di dalamnya tidak ada keraguan sedikitpun. Hal ini tidak lain karena pada saat Islam mulai tersebar ke seluruh pelosok jazirah Arab, para ahli qiraah atau yang kita kenal sebagai Qurra` ketika mereka mengajarkan Alquran ke penduduk setempat, mereka menemukan perbedaan dalam pelafalan huruf-huruf atau kalimat-kalimat dalam Alquran.
Hal ini juga menunjukkan bahwa di negeri Arab sendiri terdapat perbedaan dialek atau lahjah antara suku-suku atau daerah yang ada di sana. Hal ini pun sesuai dengan sabda Nabi saw.:
… إِنَّ هَذَا الْقُرْآنَ أُنْزِلَ عَلَى سَبْعَةِ أَحْرُفٍ فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ.
… Sesungguhnya Alquran ini diturunkan atas tujuh huruf, maka bacalah yang kamu anggap mudah darinya.[5]
Hadis ini bisa menjadi dalil bolehnya membaca Alquran menggunakan dialek yang dikuasai oleh orang-orang yang membacanya. Dan perbedaan ini pula bukan perbedaan secara keseluruhan ketika membaca Alquran, melainkan hanya beberapa ayat-ayat tertentu saja. Ini juga tidak menjadi dalil bahwa setiap orang boleh sesuka hatinya membaca Alquran dengan dialeknya yang berbeda-beda, melainkan ini harus berdasarkan petunjuk dari Nabi saw. Untuk bisa membaca Alquran dengan qiraah-qiraah ini pun harus mendapatkan sanadnya langsung dari para guru yang bersanad kepada imam yang kemudian bersanad pula kepada Nabi Muhammad saw. atau secara musalsal (sambung menyambung).
Walaupun seseorang tersebut mampu memahami dan mengerti keragaman qiraah dari berbagai kitab-kitab yang ada, jika ia tidak menerima secara lisan, ataupun ijazah langsung dari gurunya atau para imam ahli qiraah, maka ia tidak diperbolehkan membaca Alquran dengan qiraah yang berbeda. Adapun macam-macam qiraah yang telah disetujui oleh Nabi saw. akan dibahas pada pembahasan berikutnya.
- Sejarah Munculnya Qiraah
Pada mulanya, ilmu qiraah ini tidak ada pada zaman Nabi saw., karena segala bentuk perbedaan pelafalan ayat-ayat Alquran yang terdengar, akan langsung dihadapkan kepada Nabi saw., Seperti yang terdapat dalam kisah ‘Umar bin Al-Khaththab:
سَمِعْتُ هِشَامَ بْنَ حَكِيمِ بْنِ حِزَامٍ يَقْرَأُ سُورَةَ الْفُرْقَانِ فِي حَيَاةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاسْتَمَعْتُ لِقِرَاءَتِهِ فَإِذَا هُوَ يَقْرَؤُهَا عَلَى حُرُوفٍ كَثِيرَةٍ لَمْ يُقْرِئْنِيهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَكِدْتُ أُسَاوِرُهُ فِي الصَّلَاةِ فَانْتَظَرْتُهُ حَتَّى سَلَّمَ فَلَبَبْتُهُ فَقُلْتُ مَنْ أَقْرَأَكَ هَذِهِ السُّورَةَ الَّتِي سَمِعْتُكَ تَقْرَأُ قَالَ أَقْرَأَنِيهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ لَهُ كَذَبْتَ فَوَاللَّهِ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَهُوَ أَقْرَأَنِي هَذِهِ السُّورَةَ الَّتِي سَمِعْتُكَ فَانْطَلَقْتُ بِهِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَقُودُهُ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي سَمِعْتُ هَذَا يَقْرَأُ سُورَةَ الْفُرْقَانِ عَلَى حُرُوفٍ لَمْ تُقْرِئْنِيهَا وَإِنَّكَ أَقْرَأْتَنِي سُورَةَ الْفُرْقَانِ فَقَالَ يَا هِشَامُ اقْرَأْهَا فَقَرَأَهَا الْقِرَاءَةَ الَّتِي سَمِعْتُهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَكَذَا أُنْزِلَتْ ثُمَّ قَالَ اقْرَأْ يَا عُمَرُ فَقَرَأْتُهَا الَّتِي أَقْرَأَنِيهَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَكَذَا أُنْزِلَتْ ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ الْقُرْآنَ أُنْزِلَ عَلَى سَبْعَةِ أَحْرُفٍ فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ.
Aku mendengar Hisyam bin Hakim bin Jizam membaca surat Al-Furqan pada masa Rasulullah saw. masih hidup. Aku dengarkan bacaannya, tetapi bacaannya banyak dengan huruf yang belum pernah Rasulullah saw. bacakan kepadaku. Hingga hampir saja aku melabraknya pada saat ia salat, tapi aku tunggu dia sampai salam. Ketika sudah salam, aku tarik sorbannya seraya menanyakan kepadanya: “Siapakah yang mengajarkan bacaan surat itu kepadamu?” Ia menjawab: “Rasulullah saw. yang mengajarkannya kepadaku”. Lalu aku katakan kepadanya: “Dusta kau!, Demi Allah, Sungguh Rasulullah saw. juga telah membacakannya kepadaku, tapi tidak seperti yang kamu bacakan”. Kemudian aku bawa dia menghadap Rasulullah dan aku ceritakan kepadanya bahwa aku telah mendengar ia membaca surat Al-Furqan dengan huruf-huruf yang tidak pernah engkau bacakan kepadaku. Maka Rasulullah saw. bersabda: “Wahai Hisyam, bacalah surat tersebut!” kemudian ia pun membaca dengan bacaan seperti yang aku dengar tadi. Maka Rasulullah saw. bersabda: “Demikianlah surat itu diturunkan”. Kemudian Rasulullah saw. pun bersabda: “Bacalah wahai ‘Umar.” Kemudian aku baca dengan bacaan seperti yang diajarkan Rasulullah saw. kepadaku. Maka Rasulullah saw. bersabda: “Demikianlah surat itu diturunkan”. Dia pun menambahkan: “Sesungguhnya Alquran itu diturunkan dengan tujuh huruf, maka bacalah apa yang kamu anggap mudah darinya.”[6]
Adapun kisah tersebut terjadi ketika Rasulullah saw. masih hidup, segala bentuk perbedaan bisa langsung ditanyakan langsung kepada Rasulullah saw. Akan tetapi ketika Nabi saw. telah wafat, maka ini menjadi sebuah masalah di tengah-tengah umat Islam. Tetapi, sebelum Rasulullah saw. wafat, dia telah memberikan petunjuk mengenai masalah ini. Sebagaimana sabdanya:
خُذُوا الْقُرْآنَ مِنْ أَرْبَعَةٍ مِنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ وَسَالِمٍ وَمُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ وَأُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ
Ambillah (pelajarilah) Alquran oleh kalian dari empat (sahabat): ‘Abdullah bin Mas’ud, Salim, Mu’adz bin Jabal dan Ubay bin Ka’ab.[7]
Orang-orang yang telah disebutkan oleh Nabi Muhammad saw. di atas berasal dari kalangan para sahabat yang memang Nabi Muhammad saw. telah mengetahui kefasihan dan yang paling baik bacaannya. Para sahabat yang terkenal juga sebagai Al-Qurra` (pembaca Alquran), yaitu ada tujuh orang: ‘Utsman bin ‘Affan, ‘Ali bin Abi Thalib, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, ‘Abdullah bin Mas’ud, Abu Ad-Darda` dan Abu Musa Al-‘Asy’ari.[8] Para sahabat ini lah yang nantinya akan menjadi guru qiraah dari para tabiin.
Ilmu qiraah baru muncul pada masa tabiin. Para ahli qiraah pada masa tabiin ini dikenal juga dengan Qira`ah as-Sab’ah yang masyhur. Mereka adalah: Nafi’ Al-Madani, Ibnu Katsir Al-Makki, Abu ‘Amar bin Al-Ala`, Ibnu ‘Amir Ad-Dimasyqi, ‘Ashim bin Abi An-Nujud Al-Kufi, Hamzah bin Habib Al-Zayyat dan Al-Kisa`i. Sedangkan yang dikenal dengan Qira`ah al-‘Asyr ialah dengan ditambahkan Abu Ja’far, Ya’qub Al-Hadhrami dan Khalaf bin Hisyam Al-Bazzar. Sedangkan yang dikenal dengan Qira`ah al-Arba’ah wa al-‘Asyr ialah dengan ditambahkan Ibnu Muhaitsin, Al-Yazidi, Hasan Al-Bashri dan Al-A’masy.[9]
Ilmu qiraah sendiri menyebar ke beberapa daerah di Arab, yaitu di kota Madinah, Makkah, Kufah, Bashrah dan Syam.
- Macam-Macam Qiraah
Sebagaimana telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya, bahwa Nabi saw. pernah bersabda bahwa Alquran itu diturunkan atas tujuh huruf, terdapat beberapa penafsiran dan penjelasan sebagai berikut:
‘Umar bin Al-Khaththab menjelaskan bahwasanya Alquran diturunkan dengan bahasa Mudhar.[10] Suku-suku yang termasuk di dalamnya adalah Hudzayl, Kinanah, Qays, Dhibbah, Taymu Ar-Rabab, Asad Ibnu Khuzaymah dan Quraisy.[11] Jadi yang dimaksud oleh ‘Umar bin Al-Khaththab ialah tujuh huruf di sini menunjukkan gaya bahasa atau lahjah (dialek) dari tiap suku-suku yang ada di jazirah Arab ketika membaca Alquran. Sebagian ulama berpendapat, yang dimaksud dengan tujuh huruf di sini tujuannya ialah untuk mempermudah dan memperluas bacaan.
Dari dua pendapat ini, yang penulis mampu pahami ialah bahwasanya memang Alquran itu diturunkan dan bisa dibacakan menurut dialek-dialek yang ada di suku-suku bangsa Arab. Agar mereka tidak kesulitan dalam melafalkan Alquran jika harus terpaku dengan satu dialek. Bahkan Ibnu Al-Jazari menjelaskan tujuan adanya Alquran diturunkan atas tujuh huruf ini ialah dari dialog antara Nabi saw. dengan Jibril. Ketika itu Jibril ‘alaihi as-salam mengatakan: “Sesungguhnya Allah swt. memerintahkanmu agar umatmu membaca Alquran atas satu huruf”. Maka lantas Nabi saw. menjawab: “Aku memohon kepada Allah yang Maha Pengampun dan Maha Pemberi Pertolongan, sesungguhnya umatku tidak akan sanggup dengan hal ini”. Dan Nabi saw. pun terus menolak perintah ini hingga akhirnya Allah swt. mengabulkan dengan tujuh huruf.[12]
Dari hadis Nabi saw. tersebut lah, didapati lah tokoh-tokoh qiraah yang dikenal sebagai imam qiraah yang tujuh, sepuluh dan empat belas, sebagai berikut:
- Nafi’ Al-Madani, nama lengkapnya adalah Abu Ruwayn Nafi’ bin ‘Abdurrahman bin Abi Nu’aim Al-Laysi, (70-169 H.). [13] Nafi’ meriwayatkan qiraah ini dari gurunya, dan semua gurunya mempelajari qiraat dari Ibnu ‘Abbas. Ia menjadi pernah menjadi imam qiraah di Madinah.[14]
- Ibnu Katsir Al-Makki, nama lengkapnya adalah Imam Haramillah Abu Ma’bad Abdullah bin Katsir bin Al-Muthallib (45-120 H.)[15]. Ibnu Katsir mempelajari qiraah dari Abdullah bin Sa’ib. Dan ia pernah menjadi imam qiraah di Mekkah.
- Abu ‘Amar bin Al-Ala`, nama lengkapnya Abu Amr Zaban bin Al-Ala` At-Tamimi Al-Bashri (70-154 H.). Ia meriwayatkan qiraah dari Anas bin Malik. Ia menjadi imam qiraah di Mekkah, Madinah, Bashrah dan Kufah.
- Ibnu ‘Amir Ad-Dimasyqi, nama lengkapnya adalah Abdullah bin ‘Amir bin Yazid (8-118 H.). Ia meriwayatkan qiraah dari Al-Mughirah dan Abu Ad-Darda`.
- ‘Ashim bin Abi An-Nujud Al-Kufi, nama lengkapnya adalah Abu Bakar Asim bin Abu Nujud Al-Asadi Al-Kufi (127 H.). ia adalah bekas budak bani Asad. Ia adalah ahli qiraah di Kufah.[16]
- Hamzah bin Habib Al-Zayyat, nama lengkapnya adalah Hamzah bin Habib bin Imarah Az-Zayyat (80-156 H.). Ia meriwayatkan qiraah dari Al-A’masy. Ia ahli qiraah di Kufah.
- Al-Kusa`i, nama lengkapnya adalah Ali bin Hamzah Al-Kusa`i (189 H.). ia meriwayatkan qiraah dari Abi ‘Imarah dan Isma’il bin Ja’far. Ia adalah ahli qiraah di Kufah setelah Hamzah Al-Zayyat.[17]
Mereka adalah para imam ahli qiraah yang tujuh, sedangkan imam ahli qiraah yang sepuluh adalah sebagai berikut:
- Abu Ja’far, nama lengkapnya adalah Yazid Al-Qa’qa’ Al-Makhzumy Al-Madany Al-Qari’ (130 H.). Ia adalah imam ahli qiraah di Madinah, dan terkenal dengan gelar Al-Qari’.
- Ya’qub Al-Hadhrami, nama lengkapnya adalah Ibnu Ishaq bin Yazid bin Abdullah bin Abu Ishaq. (117-205 H.). Ia adalah imam ahli qiraah di Bashrah.
- Khalaf bin Hisyam Al-Bazzar, nama lengkapnya adalah Abu Muhammad Al-Asady Al-Bazzar Al-Baghdady (150-229 H.).[18]
Sedangkan ahli qiraah yang empat belas adalah sebagai berikut:
- Ibnu Muhaisyin, nama lengkapnya adalah Muhammad bin ‘Abdurrahman As-Sahmy. Penduduk Mekkah bersama Ibnu Katsir.
- Al-Yazidy, nama lengkapnya adalah Yahya bin Mubarak. Imam ahli qiraah dari Bashrah.
- Al-Hasan Al-Bashri, nama lengkapnya adalah Abu Sa’ad bin Yasar.
- Al-A’masy, nama lengkapnya adalah Sulaiman bin Mihran.[19]
Adapun macam-macam qiraah dalam segi sanad, terbagi menjadi enam macam:[20]
- Mutawatir, ini adalah jenis qiraah yang banyak diriwayatkan oleh orang-orang. Sehingga bisa dipastikan tidak akan adanya kedustaan di antara mereka. Qiraah ini adalah yang paling sesuai dengan kaidah bahasa Arab yang benar, juga paling sesuai dengan rasm ‘Utsmani. Dan jumhur ulama menilai bahwa Qira`ah Sab’ah adalah mutawatir, dan mereka yang meriwayatkan qiraah ini dari para imam yang tujuh juga adalah mutawatir.[21] Maka qiraah ini boleh dibaca di dalam salat, dan di luar salat.
- Masyhur, jenis ini adalah jenis qiraah yang sanadnya bersambung sampai kepada Rasulullah saw., sesuai dengan kaidah bahasa Arab yang benar, juga tidak menyalahi rasm ‘Utsmani. Hanya saja, yang meriwayatkannya tidak sampai sebanyak qiraah mutawatir. Qiraah ini juga boleh dibaca di dalam dan di luar salat.
- Ahad atau Shohih, jenis qiraah ini adalah qiraah yang sanadnya selamat dari kecacatan, akan tetapi praktik qiraahnya banyak yang menyalahi rasm mushaf ‘Utsmani, juga menyalahi kaidah bahasa Arab yang berlaku. Jenis qiraah ini juga tidak terkenal di kalangan ahli Qurra`. Maka qiraah jenis ini, kita tidak boleh membacanya dan juga tidak wajib meyakininya.
Contoh dari qiraah ini adalah seperti yang diriwayatkan oleh Imam Al-Hakim dan Abu Bakrah, bahwasannya Nabi saw. membaca:
مُتَّكِئِيْنَ عَلَىٰ رَفَارَفٍ خُضۡرٖ وَعَبَاقَرِيٍّ حِسَانٖ
Padahal Hafsh membacanya seperti berikut ini:
مُتَّكِئِيْنَ عَلَىٰ رَفْرَفٍ خُضۡرٖ وَعَبْقَرِيٍّ حِسَانٖ . [22]
- Syadz, qiraah ini memiliki sanad yang tidak bersambung kepada Rasulullah saw. (terputus). Contohnya seperti qiraah dari Hasan Al-Bashri, ia membaca surat Al-Fatihah ayat kelima dengan qiraah seperti berikut ini:
إِيَّاكَ يُعۡبَدُ وَإِيَّاكَ نَسۡتَعِينُ . [23]
Ia membacanya dengan fi’il mudhari majhul ber-dhamir ‘huwa’ (dia). Tentu ini menyalahi ayat kelima dari surat ini. Maka qiraah ini tidak boleh dijadikan pegangan.
- Maudhu’, qiraah ini adalah qiraah yang bisa dikatakan sebagai qiraah palsu. Dan tidak berasal dari Rasulullah saw. sama sekali. Contohnya seperti qiraah Muhammad bin Ja’far Al-Khuza`i yang menisbatkan kepada Imam Abu Hanifah:
إِنَّمَا يَخْشَى اللّٰهُ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءَ . [24]
Dengan men-dhammah-kan kalimat Allah dan mem-fathah-kan Al-‘Ulama. Padahal yang benar adalah sebaliknya. Maka qiraah ini tidak boleh dijadikan pegangan sama sekali.
- Mudraj atau Syabih bi al-Mudraj, qiraah ini adalah qiraah yang di dalamnya terdapat tambahan kalimat, yang biasanya dijadikan penafsiran dari ayat Alquran, seperti qiraah Sa’ad bin Abi Waqqash:[25]
وَلَهُ أَخٌ أَوْ أُخْتٌ مِنْ أُمِّ . [26]
Dengan tambahan مِنْ أُمِّ. Maka hukum qiraah seperti ini adalah tidak boleh dijadikan pegangan, juga tidak boleh diikuti.
- Faktor dan Akibat Munculnya Ragam Qiraah
Pada pembahasan sebelumnya, telah dijelaskan bahwasanya faktor yang menjadi penyebab munculnya ragam qiraah adalah dari perbedaan dialek antara suku-suku bangsa Arab. Sebagaimana yang telah disabdakan oleh Nabi saw. di atas, bahwasanya Alquran itu diturunkan atas tujuh huruf. Dan faktor lainnya adalah untuk mempermudah umat Nabi Muhammad saw. dalam pelafalan setiap ayat dalam Alquran.
Adapun akibat dari perbedaan ragam qiraah di antara para imam (qurra`) ini ada yang menimbulkan perbedaan dalam penafsiran suatu ayat dan juga dalam pengambilan suatu hukum (istinbath al-hukm), ada juga yang tidak.
Adapun yang tidak menimbulkan perbedaan penafsiran maupun hukum ialah seperti dalam ayat-ayat berikut; Imam Hamzah membaca (عليهم وإليهم ولديهم) dengan men-dhammah-kan huruf “ه” (Ha) menjadi (عَلَيْهُمْ وَإِلَيْهُم وَلَدَيْهُمْ). Contoh lainnya ialah perbedaan dalam pembacaan lafaz ضحاها – دحاها – طحاها – تلاها (dhuheha – daheha – thaheha – taleha). Maka ini tidak akan mengubah makna dari ayat tersebut.[27]
Sebaliknya, perbedaan penafsiran dan istinbath al-hukm terdapat pada contoh-contoh sebagai berikut; dalam Alquran surat Al-Ma`idah ayat 6, terdapat sebuah lafaz:
… أَوۡ لَٰمَسۡتُمُ ٱلنِّسَآءَ … ٦
Pada potongan ayat ini terdapat dua pelafalan qiraah, yang pertama yaitu dengan memendekkan bacaan huruf lam (أَوْ لَمَسْتُمُ النِّسَاءَ). Jika huruf lam ini dibaca pendek, maka ini mempunyai arti bersentuhan kulit secara tekstual. Maka dari itu mazhab Imam Asy-Syafi’i menetapkan hukum bahwasanya seseorang yang bersentuhan kulit antara lawan jenis, maka wudunya batal. Baik jika hanya bersentuhan secara tidak sengaja dan tanpa disertai syahwat, apalagi disertai dengan syahwat. Sebaliknya, bila huruf lam pada potongan ayat tadi dipanjangkan (أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ) maka ia berarti bersentuhan yang disertai syahwat (hubungan badan antara suami dan istri). Maka mazhab Imam Hanafi dan Maliki menetapkan hukum bahwa wudunya seseorang itu batal apabila mereka bersentuhan kulit dengan disertai syahwat, atau juga jika berhubungan badan.[28]
Contoh qiraah lainnya yang menimbulkan perbedaan penafsiran dan juga pengambilan suatu hukum terdapat pada Alquran surat Al-Baqarah ayat 222:
… وَلَا تَقۡرَبُوهُنَّ حَتَّىٰ يَطۡهُرۡنَۖ … ٢٢٢
Imam Nafi dan Abu ‘Amir membaca kalimat ini dengan men-sukun-kan huruf ‘tha’ dan men-dhammah-kan huruf ‘Ha’, sehingga kalimat ini mempunyai arti bahwa wanita yang haid itu boleh dicampuri ketika ia sudah bersih dari haidnya, walau belum bersuci.
Adapun Imam Al-Kisa`i dan Hamzah membaca kalimat ini dengan men-tasydid-kan dan mem-fathah-kan huruf ‘tha’ juga men-tasydid-kan dan meng-kasrah-kan huruf ‘ha’ (يُطَّهِّرْنَ). Sehingga kalimat ini diterjemahkan dengan lafaz (يَغْسِلْنَ) “mandi”. Maka seorang wanita tidak boleh dicampuri sebelum ia bersuci/mandi.[29] Perbedaan penafsiran yang ada dalam ragam qiraah yang ada ini wajib kita yakini keberadaannya dan kita tidak boleh menafikannya. Dan ilmu tentang qiraah ini sangat penting untuk dipelajari, mengingat ilmu qiraah ini sangat berpengaruh dalam proses penafsiran ayat dan juga pengambilan suatu hukum (istinbath al-hukm).
[1] Yunahar Ilyas, Kuliah Ulumul Qur’an. (Yogyakarta: ITQAN Publishing, Cetakan Ketiga), hlm. 155.
[2] Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. KBBI Edisi Kelima (Versi 0.2.1 Beta (21).
[3] Muhammad ‘Abd Al-‘Adzim Az-Zurqani, Manahil al-‘Irfani fi ‘Ulum al-Qur’an. (Mathbu’ah ‘Isa al-Babi al-Halabi wa Syurakahu, Cetakan Ketiga.) Jilid 1, hlm. 412. Al-Maktabah Asy-Syamilah.
[4] Kadar M. Yusuf, Studi Alquran, (Jakarta: Amzah, 2012, Cetakan Pertama), hlm. 45.
[5] Lihat: HR. Abu Dawud no. 1477; Al-Bukhari no. 4992; Muslim no. 1936; At-Tirmidzi no. 2943.
[6] Lihat: HR. Al-Bukhari no. 5041; Muslim no. 1936; At-Tirmidzi no. 2943; Abu Dawud no. 1477.
[7] Lihat: HR. Al-Bukhari no. 4999; Muslim no. 6488; At-Tirmidzi no. 3810.
[8] Yunahar Ilyas, Kuliah Ulumul Qur’an. (Yogyakarta: ITQAN Publishing, Cetakan Ketiga), hlm. 158.
[9] Amroeni Drajat, Ulumul Qur’an – Pengantar Ilmu-ilmu Al-Qur’an. (Depok: KENCANA, Cetakan Pertama, 2017), hlm. 107; Jalal Ad-Din As-Suyuthi, Al-Itqan fi ‘Ulum Al-Qur`an. (Al-Hay`ah Al-Mishriyah Al-‘Aamah li Al-Kitab, 1974), Jilid 1, hlm. 274. Al-Maktabah Asy-Syamilah.
[10] Mudhar adalah suku-suku yang ada di jazirah Arab. (Ibrahim Alibyariy, Pengenalan Sejarah Al-Qur’an. (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, Cetakan Ketiga, 1996), hlm. 100)
[11] Ibrahim Alibyariy, Pengenalan Sejarah Al-Qur’an. (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, Cetakan Ketiga, 1996), hlm. 100.
[12] Ahmad Mukhtar ‘Abd Al-Hamid ‘Umar, Al-Mu’jam Al-Mausu’i li Alfadz Al-Qur`an Al-Karim wa Qira`atahu. (Madinah Al-Munawarah), Jilid 1, hlm. 16. Al-Maktabah Asy-Syamilah.
[13] Kadar M. Yusuf, Studi Alquran, (Jakarta: Amzah, 2012, Cetakan Pertama), hlm. 52.
[14] Kadar M. Yusuf, Studi Alquran, (Jakarta: Amzah, 2012, Cetakan Pertama), hlm. 52.; Imam As-Suyuthi, Mukhtashar Al-Itqan fi ‘Ulul Al-Qur’an li As-Suyuthi, terjemahan: Aunur Rafiq Shalih Tamhid, Apa itu Al-Qur’an. (Jakarta: GEMA INSANI PRESS, Cetakan Kedelapan, 1993), hlm. 76.
[15] Perlu diperhatikan, bahwa Ibnu Katsir di sini bukanlah Ibnu Katsir seorang mufasir terkenal, nama lengkap Ibnu Katsir yang merupakan seorang mufasir adalah Imaduddin Abi Al-Fida’ Isma’il bin Katsir Al-Quraysy Ad-Dimasqi. (Kadar M. Yusuf, Studi Alquran, (Jakarta: Amzah, 2012, Cetakan Pertama), hlm. 52.)
[16] Kadar M. Yusuf, Studi Alquran, (Jakarta: Amzah, 2012, Cetakan Pertama), hlm. 53; Imam As-Suyuthi, Mukhtashar Al-Itqan fi ‘Ulul Al-Qur’an li As-Suyuthi, terjemahan: Aunur Rafiq Shalih Tamhid, Apa itu Al-Qur’an. (Jakarta: GEMA INSANI PRESS, Cetakan Kedelapan, 1993), hlm. 78.
[17] Imam As-Suyuthi, Mukhtashar Al-Itqan fi ‘Ulul Al-Qur’an li As-Suyuthi, terjemahan: Aunur Rafiq Shalih Tamhid, Apa itu Al-Qur’an. (Jakarta: GEMA INSANI PRESS, Cetakan Kedelapan, 1993), hlm. 78
[18] Imam As-Suyuthi, Mukhtashar Al-Itqan fi ‘Ulul Al-Qur’an li As-Suyuthi, terjemahan: Aunur Rafiq Shalih Tamhid, Apa itu Al-Qur’an. (Jakarta: GEMA INSANI PRESS, Cetakan Kedelapan, 1993), hlm. 80.
[19] Imam As-Suyuthi, Mukhtashar Al-Itqan fi ‘Ulul Al-Qur’an li As-Suyuthi, terjemahan: Aunur Rafiq Shalih Tamhid, Apa itu Al-Qur’an. (Jakarta: GEMA INSANI PRESS, Cetakan Kedelapan, 1993), hlm. 80.
[20] Abduh Zulfikar Akaha, Al-Qur’an dan Qiroat. (Jakarta: PUSTAKA AL-KAUTSAR, Cetakan Pertama, 1996), hlm. 121.
[21] Ibrahim Alibyariy, Pengenalan Sejarah Al-Qur’an. (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, Cetakan Ketiga, 1996), hlm. 117.
[22] Lihat: QS. Ar-Rahman [55]: 76.
[23] Lihat: QS. Al-Fatihah [1]: 5.
[24] Lihat: QS. Fathir [35]: 28.
[25] Amroeni Drajat, Ulumul Qur’an – Pengantar Ilmu-ilmu Al-Qur’an. (Depok: KENCANA, Cetakan Pertama, 2017), hlm. 110.
[26] Lihat: QS. An-Nisa` [4]: 12.
[27] Yunahar Ilyas, Kuliah Ulumul Qur’an. (Yogyakarta: ITQAN Publishing, Cetakan Ketiga), hlm. 169.
[28] Amroeni Drajat, Ulumul Qur’an – Pengantar Ilmu-ilmu Al-Qur’an. (Depok: KENCANA, Cetakan Pertama, 2017), hlm. 113; Yunahar Ilyas, Kuliah Ulumul Qur’an. (Yogyakarta: ITQAN Publishing, Cetakan Ketiga), hlm. 170.
[29] Amroeni Drajat, Ulumul Qur’an – Pengantar Ilmu-ilmu Al-Qur’an. (Depok: KENCANA, Cetakan Pertama, 2017), hlm. 112.