Dari Pelajar Menjadi Pengajar:
Perjalanan Seorang Guru
وَعَسَىٰٓ أَن تَكْرَهُوا۟ شَيْـًٔا وَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ ۖ وَعَسَىٰٓ أَن تُحِبُّوا۟ شَيْـًٔا وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ ۗ وَٱللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui,” (QS Al-Baqarah: 216).
Firman Allah tersebut mengantarkan saya kepada peristiwa delapan tahun silam yang mana pada waktu itu saya terpaksa mengambil sebuah pilihan yang sebenarnya amat tidak saya sukai. Bagaimana tidak? Saya, yang pada saat itu merasa benci terhadap Pelajaran bahasa Inggris, justru harus menempuh Pendidikan non formal yakni mengikuti kursus bahasa Inggris atas kehendak orang tua saya. Jujur, sejak duduk di bangku sekolah menengah pertama, saya selalu menghindari Pelajaran tersebut. Setiap kali guru menjelaskan materi, saya enggan untuk memperhatikan bahkan tak jarang saya dengan sengaja tidur di kelas. Alasan mengapa saya begitu membenci bahasa Inggris yaitu karena saya menganggap bahwa bahasa Inggris adalah bahasa yang paling susah sehingga mampu berbahasa Inggris adalah hal yang mustahil. Bahkan, suatu hari ketika jam Pelajaran bahasa Inggris berlangsung, saya pernah menangis di depan kelas karena diminta untuk membacakan teks berbahasa Inggris di depan teman-teman seperjuangan saya. Oleh karena saya merasa itu adalah pengalaman buruk, pada pertemuan selanjutnya, saya selalu berusaha bersembunyi supaya tidak terlihat oleh guru saya.
Kebencian itu pun terus berlanjut sampai saya duduk di bangku sekolah menengah ke atas. Tidak ada yang berubah dari bagaimana saya bersikap setiap kali jam Pelajaran bahasa Inggris berlangsung. Saya abai. Saya enggan memperhatikan. Saya menyengaja tidur. Oleh karena itu, begitu lulus dari bangku sekolah menengah atas, saya merasa gelisah berkepanjangan ketika orang tua saya meminta saya untuk mengikuti kursus bahasa Inggris. Tidak peduli dengan isak tangis yang tak terbendung, mereka dengan sungguh meminta saya untuk melakukannya. Bukan tanpa alasan. Mereka dengan tegas mengatakan bahwa bahasa Inggris menjadi hal yang sangat dibutuhkan, terlebih bagi saya yang kala itu akan menyandang status sebagai seorang mahasiswi. Sebab tidak ingin mengecewakan orang tua saya, pada tahun 2016, saya akhirnya menapakkan kaki di sebuah desa yang populer dengan sebutan “kampung
Inggris”. Hari-hari yang dilalui pun terasa amat sangat berat pada awalnya. Sebagai pelajar yang kala itu bahkan belum mengerti ejaan alphabet yang benar, saya memilih untuk lebih sering diam ketika terdapat aturan wajib berbahasa Inggris di tempat yang saya tinggali. Dengan bantuan terjemahan dari salah seorang teman, saya baru akan bicara ketika hendak mengantre di kamar mandi atau ketika hendak mengajak teman saya untuk pergi membeli makanan.
Dua minggu berlalu. Program speaking dan vocabulary yang saya ambil belum berhasil membuat saya jatuh hati terhadap bahasa Inggris. Keajaiban terjadi pada bulan ketiga saya mengikuti kursus. Grammar menjadi cinta pertama saya.
“I give you an orange card. You give me an orange card.
They give us an orange card. We give them an orange card.
She gives him an orange card. He gives her an orange card.
Do I give you an orange card? Yes, you give me an orange card.
Do you give me an orange card? Yes, I give you an orange card.
Do they give us an orange card? Yes, they give us an orange card.
Do we give them an orange card? Yes, we give them an orange card.
Does she give him an orange card? Yes, she gives him an orange card.
Does he give her an orange card? Yes, he gives her an orange card.”
Kalimat yang saya dengar selama satu minggu itu telah berhasil meluluhkan hati saya. Entah di bagian yang mana saya mulai menyukainya. Apa yang saya ingat adalah bahwa saya semakin semangat mempelajari grammar pada hari-hari berikutnya. Bahkan, tidak ada catatan yang terlewat sedikit pun, baik itu catatan yang ditulis di papan tulis maupun yang diucapkan oleh guru saya. Semakin hari, grammar membuat saya semakin tertarik untuk mempelajarinya. Berbagai kerumitan rumus berhasil saya pecahkan. Rumus 16 tenses, active maupun passive, saya berhasil mengingatnya.
Ketertarikan saya terhadap grammar sepenuhnya menghapus kebencian saya terhadap bahasa Inggris. Dari situlah kemudian saya mampu memahami bahwa boleh jadi saya membenci sesuatu yang sebenarnya baik bagi saya. Allah mengetahui, sedangkan saya sebagai hamba-Nya, tidak mengetahui. Pada kenyataannya, bahasa Inggris menjadi jalan bagi saya untuk memperoleh rezeki. Mulai dari beasiswa yang saya dapatkan hingga pekerjaan yang saya jalani, semuanya tidak lepas dari peran bahasa Inggris. Itulah perjalanan saya sebagai seorang guru–bermula sebagai pelajar dan berakhir sebagai pengajar. Alhamdulillah ‘ala kulli haalin.