Semenjak berkembangnya industri didunia, kebutuhan akan pekerja/buruh meningkat seiring meningkatnya permintaan akan barang-barang yang dibutuhkan oleh masyarakat. Semakin majunya peradaban suatu bangsa, maka kebutuhan masyarakat juga semakin kompleks. Di era manusia purba, bisa jadi cukup dengan baju yang melekat pada dirinya dan alat-alat berburu sudah cukup untuk dirinya. Berbeda dengan masyarakat di era modern, muncul kebutuhan akan gadget, pulsa, kuota, mobil, motor, skincare dan sebagainya.
Kebutuhan akan pekerja/buruh ini menjadi pembahasan yang menarik, karena sistem pendidikan formal yang kita kenal saat ini banyak terbentuk sejak era Revolusi Industri. Sekolah-sekolah mulai dirancang bukan sekadar sebagai tempat mencari ilmu, tetapi sebagai institusi yang mendisiplinkan individu agar siap bekerja dalam sistem industri:
Mengatur waktu dan kegiatan sesuai jadwal (mirip jam kerja).
Taat pada otoritas (guru sebagai perwakilan otoritas).
Fokus pada hafalan dan pengulangan tugas (mirip proses kerja berulang).
Sistem nilai berdasarkan kepatuhan dan produktivitas.
Menggunakan seragam (mirip karyawan)
Pendidikan di era sekarang dipakai sebagai alat sosialisasi ideologi dominan, bukan sebagai ruang pembebasan. Ruang di mana seseorang dapat menajdi versi terbaik dirinya bukan menjadi pibadi yang cocok dengan kebutuhan industri.
Kapitalisme membutuhkan dua hal dari sistem pendidikan:
Tenaga kerja siap pakai: Individu yang terampil, disiplin, dan patuh.
Reproduksi ideologi kapitalisme: Menerima struktur sosial yang tidak setara sebagai sesuatu yang “normal.”
Oleh karena itu, kurikulum lebih menekankan keterampilan teknis, bukan kesadaran kritis.
Contoh nyata:
Jurusan yang menghasilkan pekerja teknis (akuntan, teknisi, marketing) sangat diminati pasar.
Pendidikan humaniora dan filsafat mulai terpinggirkan karena dianggap tidak “produktif” secara ekonomi.
Teori dari Bowles dan Gintis dalam “Schooling in Capitalist America” menyatakan bahwa pendidikan mereproduksi struktur kelas:
Anak dari kelas atas cenderung mendapat pendidikan yang lebih bebas dan eksploratif.
Anak dari kelas pekerja mendapat pendidikan yang menekankan ketaatan dan keterampilan praktis.
Dengan demikian, pendidikan tidak bersifat meritokratis, tapi justru memperkuat ketimpangan sosial. Paulo Freire, dalam Pedagogy of the Oppressed, mengkritik model pendidikan gaya bank, di mana guru “menabungkan” ilmu ke dalam diri murid. Ini menghasilkan manusia pasif, bukan subjek yang berpikir kritis.
Freire menekankan pentingnya:
Pendidikan dialogis.
Kesadaran kritis (conscientization).
Pendidikan sebagai alat pembebasan, bukan penindasan.
Alternatif dari sistem pendidikan kapitalistik:
- Pendidikan yang membangun kesadaran kelas.
- Kurikulum yang inklusif dan kontekstual.
- Mendorong murid untuk mempertanyakan struktur sosial, bukan hanya menerimanya.
Alternatif nyata lainnya adalah konsep yang ditawarkan oleh sekolah Islam yang mulai banyak berdiri belakangan ini. Sekolah Islam mengklaim pendekatan pendidikan mereka bersumber dari prinsip tauhid, yaitu mengesakan Allah dalam seluruh aspek kehidupan, termasuk pendidikan. Artinya:
Pendidikan tidak semata-mata untuk kerja, tapi untuk ibadah.
Tujuan akhir bukan ekonomi, tapi ridha Allah dan akhlak mulia.
Kontras dengan sistem kapitalistik yang menjadikan output ekonomi (pekerja, produktivitas, profit) sebagai tujuan utama.
Sekolah Islam umumnya mengembangkan manusia secara holistik:
Intelektual (fikr)
Spiritual (ruhiyah)
Emosional dan moral (akhlaqiyah)
Sosial (muamalah)
Bukan hanya “worker-ready”, tapi “akhirat-ready”.
Ini berbeda dari pendidikan modern kapitalistik yang menekankan aspek kognitif dan keterampilan teknis saja, mengabaikan dimensi spiritual dan moral.
Di banyak sekolah umum, pendidikan karakter hanya tempelan kurikulum (misalnya pelatihan “integritas”). Tapi di sekolah Islam:
Akhlak diajarkan sejak dini, bukan hanya melalui teori, tapi melalui teladan dan kebiasaan.
Ada pembiasaan shalat, puasa, membaca Al-Qur’an, adab terhadap guru, dll.
Ada proses tazkiyatun nafs (penyucian jiwa) sebagai bagian dari pendidikan.
Tujuannya bukan hanya “pekerja baik”, tapi manusia bermoral yang sadar tujuan hidupnya.
Sekolah Islam (terutama yang progresif) mulai memperkenalkan fikih muamalah, ekonomi Islam, dan keadilan sosial dalam Islam untuk menumbuhkan kesadaran murid terhadap:
Sistem ekonomi yang eksploitatif
Ketimpangan distribusi kekayaan
Perlunya zakat, infak, wakaf sebagai solusi sosial
Dalam hal ini, sekolah Islam bisa mengajarkan counter-narrative terhadap ideologi kapitalisme.
Pendidikan Islam mendorong rasa tanggung jawab sosial dan solidaritas umat:
Konsep ukhuwah Islamiyah: tidak boleh ada yang kelaparan sementara tetangganya kenyang.
Ada amanah sosial: ilmu yang didapat harus digunakan untuk memperbaiki masyarakat, bukan untuk memperkaya diri semata.
Ini menjadi tandingan terhadap individualisme kapitalistik.
Namun, Perlu Diakui: Tidak Semua Sekolah Islam Menawarkan Solusi Nyata
Sekolah kami, SMAIT As-Syifa Boarding School Wanareja menawarkan solusi nyata untuk masalah yang diangkat pada pembahasan di artikel ini. Kami menyadari bahwa sistem pendidikan modern seringkali hanya berorientasi pada pencetakan tenaga kerja sesuai kebutuhan industri kapitalistik. Oleh karena itu, kami membangun pendekatan pendidikan yang tidak semata-mata mempersiapkan siswa untuk dunia kerja, tetapi juga membentuk karakter, spiritualitas, dan kesadaran sosial mereka sebagai insan yang utuh.
Di SMAIT As-Syifa Boarding School Wanareja, pendidikan bukan sekadar proses transfer ilmu, tetapi proses pembinaan jiwa dan akhlak. Kami menanamkan nilai-nilai tauhid dalam seluruh aktivitas belajar mengajar agar siswa menyadari bahwa ilmu bukanlah alat untuk mengejar status duniawi semata, melainkan wasilah untuk mencapai keridhaan Allah dan memberi manfaat sebesar-besarnya bagi umat.
Kami mengintegrasikan kurikulum nasional dengan kurikulum keislaman yang komprehensif, di mana siswa tidak hanya belajar Matematika, Biologi, dan Ekonomi, tetapi juga memahami fikih muamalah, tafsir sosial, dan sirah nabawiyah dengan pendekatan kontekstual. Dengan cara ini, mereka mampu mengaitkan ilmu dunia dengan nilai-nilai akhirat, serta memiliki kesadaran kritis terhadap ketimpangan sosial dan struktur ekonomi yang tidak adil.
Pendidikan karakter dan adab menjadi pilar utama dalam kehidupan boarding kami. Melalui kehidupan berasrama, siswa dibimbing untuk hidup disiplin, bertanggung jawab, dan mandiri dalam bingkai nilai-nilai Islam. Adab terhadap guru, teman, dan lingkungan bukan hanya diajarkan, tapi dibiasakan dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini berbeda dari pendekatan mekanistik di banyak sekolah umum yang hanya menekankan pencapaian akademik.
Kami juga mengembangkan berbagai program kepemimpinan dan proyek sosial yang mendorong siswa untuk tidak hanya berpikir sebagai individu, tetapi sebagai bagian dari masyarakat yang memiliki tanggung jawab sosial. Siswa kami didorong untuk menjadi agen perubahan, bukan sekadar pencari kerja.
Dengan kata lain, SMAIT As-Syifa Boarding School Wanareja berkomitmen mencetak generasi yang tidak sekadar “worker-ready”, tetapi “Islamic world-changer ready” — generasi yang cerdas, berakhlak, mandiri, dan memiliki kesadaran sosial tinggi. Inilah bentuk perlawanan kami terhadap hegemoni kapitalisme dalam pendidikan: membangun manusia seutuhnya, bukan hanya mesin ekonomi.
wallahu a’lam bi showab

Tersenyumlah.