Belajar Ekonomi; Invisible Hand Adam Smith dan Sudut Pandang Islam Tentang Mekanisme Pasar

Belajar Ekonomi; Invisible Hand Adam Smith dan Sudut Pandang Islam Tentang Mekanisme Pasar

Pada abad ke-18, Adam Smith, seorang filsuf ekonomi terkenal, mengembangkan teori yang dikenal sebagai “invisible hand” (tangan tak kasat mata) dalam karyanya yang terkenal, “The Wealth of Nations”. Konsep ini menyatakan bahwa dalam suatu sistem pasar yang bebas, tindakan individu yang bermotivasi oleh kepentingan diri mereka sendiri secara tidak langsung akan mengarah pada kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Meskipun individu bertindak demi kepentingan pribadi, hasil akhirnya akan menguntungkan semua orang melalui mekanisme pasar yang efisien.

Banyak pemikiran dan teori-teori ekonomi yang dibuat oleh beliau dan menjadi landasan berfikir dalam teori ekonomi mikro. Diantara teori yang populer adalah teori Invisble Hand tersebut. Mari kita sedikit belajar tentang teori ini. Pernahkah suatu ketika saudara-saudara bertanya dan memikirkan, kenapa kok barang ini harganya sekian, kenapa tidak sekian saja?

Misal, di depan Pak Andi sekarang ada sebuah papan tulis, harga papan tulis itu diketahui Rp450.000,00 kemudian Pak Andi bertanya-tanya Kenapa kok cuman Rp450.000,00 kenapa tidak Rp1.000.000,00 atau Rp2.000.000,00 saja. Dari manakah ketetapan harga ini muncul?

Dalam pemikiran kaum klasik di ekonomi, terbentuknya harga karena adanya interaksi antara permintaan (demand) dan penawaran (supply) atau mekanisme pasar. Terbentuknya keseimbangan harga karena ada tangan yang tidak kentara (invisible hand) yang menggerakkan demand dan supply sehingga harga menjadi seimbang.

Dalam sejarah pemikiran Ekonomi Islam, konsep menarik yang berkaitan dengan Invisble Hand Adam Smith adalah hadits yang diucapkan oleh Nabi Muhammad ﷺ. Meskipun berasal dari konteks dan zaman yang berbeda, kedua konsep ini memiliki kesamaan dalam pandangan tentang pasar dan peran Allah atau kekuatan tak kasat mata dalam mengatur rezeki dan harga.

Hadits yang Diucapkan oleh Nabi Muhammad ﷺ: Dari Anas bin Malik -raḍiyallāhu ‘anhu- secara marfū’, Orang-orang berkata, “Wahai Rasulullah, harga-harga menjadi mahal. Tetapkanlah harga untuk kami?” Rasulullah -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- bersabda, “Sesungguhnya Allah yang pantas menaikkan dan menurunkan harga, Dia-lah yang membatasi dan melapangkan rezeki. Aku harap dapat berjumpa dengan Allah dalam keadaan tidak seorang pun dari kalian yang menuntutku soal kezaliman dalam darah (nyawa) dan harta.”

Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik, Nabi Muhammad ﷺ merespons keluhan umatnya tentang kenaikan harga dengan menyampaikan pesan yang penting. Beliau menyatakan bahwa Allah adalah yang menaikkan dan menurunkan harga serta yang membatasi dan melapangkan rezeki. Nabi Muhammad ﷺ juga mengungkapkan keinginannya untuk bertemu Allah di akhirat dalam keadaan tidak ada seorang pun dari umatnya yang menuntutnya atas kezaliman dalam hal pembunuhan atau pencurian harta.

Keterkaitan antara Hadits dan Konsep “Invisible Hand”:

Meskipun hadits yang diucapkan oleh Nabi Muhammad ﷺ dan konsep “invisible hand” Adam Smith berasal dari konteks yang berbeda, keduanya memiliki kesamaan dalam pemahaman tentang bagaimana harga dan rezeki diatur.

  1. Pengaturan oleh Allah/Keuangan Tak Kasat Mata:

Kedua konsep ini mengakui peran kekuatan tak kasat mata dalam mengatur rezeki dan harga. Dalam hadits, Nabi Muhammad ﷺ mengajarkan bahwa Allah-lah yang menentukan kenaikan dan penurunan harga serta yang membatasi dan melapangkan rezeki. Sementara itu, “invisible hand” Adam Smith menyiratkan bahwa mekanisme pasar yang tak kasat mata mengarahkan tindakan individu demi kepentingan diri mereka sendiri menuju keseimbangan dan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.

Sebagai umat yang beriman, kita harus meyakini bahwa Allah ta’ala yang menggerakkan segala sesuatu didunia ini. Bahkan jatuhnya daun juga sudah tercatat oleh Allah ta’ala. Maka perkara harga juga demikian. Lantas, apakah kita akan tetap menyebutnya sebagai Tangan Tidak Kentara yang menggerakkan harga-harga barang, atau kita meyakini adanya Allah yang menggerakkan harga-harga tersebut?

  1. Relevansi dalam Konteks Ekonomi:

Kedua konsep ini memiliki implikasi ekonomi yang signifikan. Hadits tersebut mengingatkan umat Muslim untuk bersabar dan bertawakkal kepada Allah dalam menghadapi situasi ekonomi yang sulit, sementara konsep “invisible hand” Adam Smith menekankan pentingnya mekanisme pasar dalam terbentuknya harga.

Untuk pembahasan yang terahir, mari kita urutkan secara kronologis. Adam Smith mengeluarkan buku The Wealth Of Nations yang memuat teori invisible hand pada tahun 1776 masehi. Konsep mekanisme pasar baru digali dan dipelajari oleh para ekonom di abad 18 an.

Sedangkan kalau kita runut kronologis hidup Rasulullah. Rasulullah menerima wahyu pertama dari Allah ta’ala pada tahun 610 Masehi (tahun ke-40 umur beliau) di gua Hira. Setelah menerima wahyu tersebut, Rasulullah menjadi nabi dan rasul yang mengemban misi menyampaikan ajaran Islam kepada umat manusia. Rasulullah hidup hingga tahun 632 Masehi (tahun ke-11 Hijriah). Jadi, waktu antara menerima wahyu pertama hingga wafatnya Rasulullah adalah sekitar 22 tahun dalam hitungan Masehi atau sekitar 11 tahun dalam hitungan Hijriah.

Dari runutan kronologis tadi, kurang lebih 1000 tahun setelahnya baru muncul teori yang dikemukakan oleh Adam Smith. Yang jadi pertanyaan? Kitabnya ada, haditsnya ada. Kenapa hampir sebagian teori, baik Ekonomi atau bidang lainnya yang semisal muncul dan berasalnya dari barat? Kemudian setelah orang barat mengeluaran banyak daya dan upaya untuk melakukan penelitian, kita selaku umat islam tinggal klaim dan bilang, itu sudah ada di Al-Qur’an, itu sudah ada di hadits? Apakah kurang penelitian dan kajian ilmiah di generasi islam? Apakah ini salah satu alasan mundurnya ilmu pengetahuan di umat islam? Wallahu a’lam bish-shawabi.

Scroll to Top