Belajar Ekonomi: Mungkinkah Biaya Pendidikan Gratis?

Beberapa hari ini terjadi diskusi yang cukup menarik didunia pendidikan. Diskusi tersebut berkaitan dengan Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian uji materi UU Sisdiknas terkait frasa “wajib belajar tanpa biaya”. Ketua MK Suhartoyo menyatakan bahwa pemerintah pusat dan daerah wajib membebaskan biaya pendidikan dasar di SD, SMP, dan madrasah, baik negeri maupun swasta.
Yang menjadi pertanyaan, mungkinkah pendidikan gratis dapat diwujudkan?

Secara historis, para sahabat Nabi Muhammad shalallahu a’laihi wassalam menunjukkan pengorbanan besar dalam menuntut ilmu. Ashab al-Suffah misalnya, adalah sahabat-sahabat miskin yang tinggal di serambi Masjid Nabawi untuk belajar langsung dari Rasulullah SAW, dengan kebutuhan hidup mereka ditanggung oleh kaum Muslimin lain. Abu Hurairah RA memilih meninggalkan pekerjaan demi fokus belajar, menunjukkan adanya biaya kesempatan yang ia tanggung. Umar bin Khattab RA bahkan berbagi waktu dengan sahabatnya secara bergiliran antara berdagang dan belajar, menandakan bahwa pembiayaan hidup dan pendidikan ditanggung secara mandiri.

Demikian pula para ulama salaf seperti Imam Syafi’i yang merantau jauh dari Gaza ke berbagai kota demi ilmu, meskipun dalam kondisi sangat sederhana hingga harus menulis di tulang karena tak mampu membeli kertas. Imam Ahmad bin Hanbal rela keliling negeri demi hadits, hidup miskin, dan tidur di masjid. Imam Bukhari pun menggunakan warisan ayahnya untuk menuntut ilmu, menjelajah ke banyak wilayah Islam. Meski tidak membayar biaya sekolah seperti masa kini, mereka tetap menanggung biaya hidup, perjalanan, dan berbagai bentuk pengorbanan fisik maupun materi.

Pada masa keemasan khilafah Islam, terutama di bawah Dinasti Abbasiyah dan Utsmaniyah, sistem pembiayaan pendidikan berkembang pesat melalui wakaf. Lembaga-lembaga pendidikan seperti madrasah, ribath, hingga universitas ternama seperti Al-Azhar, Nizamiyah, dan Al-Qarawiyyin menyediakan pendidikan tanpa memungut biaya dari murid. Para guru digaji dari dana wakaf, sehingga pendidikan dapat diakses secara gratis oleh masyarakat. Ini mencerminkan model pendidikan gratis yang berbasis syariah, wakaf, dan solidaritas sosial dalam sistem Islam yang lebih makmur.

Di era modern, pendidikan gratis bukanlah hal yang mustahil, bahkan sudah menjadi kenyataan di sejumlah negara, terutama di kawasan Timur Tengah. Negara-negara seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Qatar, dan Kuwait berhasil menyelenggarakan pendidikan gratis dari jenjang dasar hingga perguruan tinggi, bahkan menyediakan beasiswa penuh (fully funded) untuk mahasiswa internasional, termasuk dari Indonesia. Beasiswa tersebut mencakup biaya kuliah, tempat tinggal, tunjangan hidup, tiket pesawat, hingga asuransi kesehatan.

Keberhasilan negara-negara tersebut menyelenggarakan pendidikan gratis umumnya bersumber dari pengelolaan pendapatan negara yang efektif, khususnya dari sektor minyak dan gas. Meskipun ekonomi mereka sangat bergantung pada sumber daya alam tertentu, pendapatan besar yang dihasilkan digunakan untuk investasi di sektor publik, termasuk pendidikan. Ini menunjukkan adanya komitmen politik dan visi jangka panjang terhadap pembangunan manusia.

Di sisi lain, Indonesia memiliki kekayaan sumber daya alam yang jauh lebih beragam—mulai dari tambang, hutan, pertanian, perikanan, hingga potensi energi terbarukan. Namun, tantangan utamanya terletak pada pengelolaan dan distribusi kekayaan tersebut yang belum sepenuhnya berpihak pada pembiayaan sektor strategis seperti pendidikan. Padahal, jika dikelola secara optimal tanpa adanya korupsi dan disertai dengan keberpihakan anggaran serta sistem subsidi yang tepat, bukan tidak mungkin Indonesia juga bisa menyediakan pendidikan gratis yang berkualitas untuk seluruh rakyatnya. Bahkan sampai diposisi memberikan beasiswa full funded kepada mahasiswa dari negara lain.

Intinya, pendidikan gratis bukan hanya soal kemampuan fiskal, tetapi juga soal prioritas kebijakan dan tata kelola yang baik. Negara-negara Timur Tengah membuktikan bahwa dengan sumber daya yang terbatas pada satu sektor, pendidikan gratis bisa diwujudkan. Maka, Indonesia dengan kekayaan yang lebih beragam seharusnya memiliki potensi yang sama atau bahkan lebih besar untuk menjamin pendidikan gratis bagi warganya.

Ada sebuah banyolan populer dari orang Arab yang sering dijadikan bahan refleksi sosial dan politik. Mereka berkata,

“Kami orang Arab, jika dari 10 orang hanya ada 1 yang pintar dan 9 lainnya bodoh, maka kami sepakat untuk menjadikan 1 orang pintar itu sebagai pemimpin kami. Tapi kalian, kalau dari 10 orang ada 9 yang pintar dan 1 orang yang bodoh, justru si bodoh itulah yang kalian pilih jadi pemimpin.”

Banyolan ini bukan sekadar lelucon, melainkan sindiran tajam terhadap ironi dalam sistem pemilihan dan kesadaran masyarakat. Orang Arab ingin menunjukkan bahwa mereka, meskipun mayoritas tidak berpendidikan tinggi, tetap sadar pentingnya dipimpin oleh orang yang cerdas dan kompeten. Sementara itu, masyarakat lain yang sudah lebih berpendidikan justru terkadang terjebak pada pilihan yang populis, bukan yang rasional—memilih pemimpin karena faktor lain seperti pencitraan, hiburan, atau manipulasi opini, alih-alih kemampuan dan integritas.

Banyolan ini sering digunakan sebagai bahan evaluasi: apakah kita benar-benar menggunakan akal sehat dan nurani dalam memilih pemimpin, atau malah terbawa arus tanpa pertimbangan logis dan moral yang matang.

wallahu a’lam bishowab