School Info
Tuesday, 19 Aug 2025
  • Selamat Datang di Website SMAIT As-Syifa Boarding School Wanareja
  • Selamat Datang di Website SMAIT As-Syifa Boarding School Wanareja
16 August 2025

Belajar Informatika dari Antrean Cuci Piring: Pengalaman Experiential Learning dan SEL di Boarding School

Sat, 16 August 2025 Read 32x Uncategorized

Belajar Itu Bukan Hafalan

Kalau kita jujur, sebagian besar pembelajaran di sekolah masih identik dengan ceramah, catat-mencatat, dan menghafal. Anak-anak mendengar guru ngomong panjang lebar, lalu tugas mereka hanya mengulang isi buku di ujian. Hasilnya? Ya, banyak yang cepat lupa, atau merasa pelajaran itu nggak ada kaitannya dengan hidup mereka.

Padahal, dunia nyata jauh lebih kompleks. Anak-anak perlu kemampuan berpikir kritis, kerja sama, dan tentu saja… kemampuan menghubungkan teori dengan pengalaman sehari-hari.

Nah, di sinilah konsep Understanding by Design (UbD) masuk. Singkatnya, UbD adalah cara merancang pembelajaran yang dimulai dari “tujuan akhir”. Guru bertanya dulu: “Setelah belajar ini, anak-anak harus benar-benar paham apa?” Baru setelah itu ditentukan cara, aktivitas, dan penilaiannya. Jadi arah pembelajaran jelas, nggak sekadar “yang penting mengajar”.

Tapi, tujuan bagus saja belum cukup. Anak-anak butuh pengalaman nyata agar bisa menghubungkan teori dengan kehidupan mereka. Di sinilah Experiential Learning (belajar lewat pengalaman) berperan. Dan supaya makin lengkap, kita tambahkan bumbu Social Emotional Learning (SEL) agar anak-anak nggak cuma pintar secara kognitif, tapi juga lebih sadar diri, peduli sama orang lain, dan bisa kerja sama.

Masalah di Kelas Informatika

Saya mengajar Informatika di SMAIT Assyifa Boarding School Wanareja. Salah satu materi yang cukup menantang adalah Pattern Recognition (Pengenalan Pola).

Biasanya, kalau materi ini diajarkan secara teori, anak-anak bingung: “Ngapain sih belajar pola? Memangnya ada gunanya buat hidup kita?” Karena mereka nggak bisa melihat hubungannya dengan keseharian. Apalagi akses internet di boarding school terbatas, jadi pembelajaran digital penuh software atau coding online sulit dilakukan.

Saya lalu berpikir: kenapa nggak pakai hal-hal sederhana yang mereka alami sehari-hari? Dari situ, lahirlah ide untuk mencoba pendekatan UbD, Experiential Learning, dan SEL secara barengan.

Dari Antrean Cuci Piring ke Pola Komputasional

Aktivitas paling “rame” di boarding school adalah antre cuci piring. Kalau diamati, antreannya sering berantakan: ada yang nyelonong, ada yang nggak sabar, bahkan ada yang bikin ribut kecil.

Saya jadikan momen ini sebagai Concrete Experience (pengalaman nyata). Anak-anak saya minta mengamati antrean. Mereka catat siapa yang motong antrean, bagaimana pola orang masuk, dan bagaimana teman-teman bereaksi.

Setelah itu, mereka masuk ke tahap Reflective Observation. Diskusi kelompok dimulai. Ada yang bilang, “Ternyata antrean kita selalu rusuh kalau habis makan malam.” Ada juga yang menyadari, “Biasanya yang suka nyelonong itu orang yang buru-buru mau ke masjid.”

Baru setelah refleksi, kita masuk ke Abstract Conceptualization. Di sinilah saya sambungkan ke konsep Informatika: pola bisa diamati, dianalisis, lalu dipahami sebagai langkah berpikir komputasional.

Tahap terakhir, Active Experimentation. Anak-anak diminta bikin solusi. Ada yang bikin simulasi antrean tertib dengan kertas nama, ada yang menggambar diagram urutan antrean. Suasana kelas jadi hidup. Ada yang ketawa-tawa karena antrean simulasi gagal, ada yang semangat mencoba lagi.

Seorang anak berkomentar,

“Biasanya saya malas antre, tapi setelah bikin simulasi, saya ngerti kenapa antrean harus tertib.”

Nah, kalimat sesederhana itu jadi bukti kalau pembelajaran berhasil: bukan cuma ngerti teori, tapi juga mengalami, merasakan, dan merefleksikan.

Sentuhan SEL: Belajar Jadi Lebih Manusiawi

Kalau cuma berhenti di konsep Informatika, mungkin hasilnya setengah matang. Jadi, saya integrasikan juga Social Emotional Learning (SEL) ke dalam prosesnya.

  • Self-awareness: Anak-anak ditanya, “Kamu pernah motong antrean nggak?” Banyak yang ngakak malu-malu, tapi itu penting buat sadar diri.

  • Social awareness: Mereka diskusi soal dampak motong antrean terhadap teman lain. Jadi muncul empati.

  • Relationship skills: Saat bikin aturan antrean baru, mereka kerja sama dalam kelompok. Kadang beda pendapat, tapi akhirnya belajar kompromi.

  • Responsible decision making: Aturan antrean disepakati bersama. Karena bikin sendiri, mereka lebih bertanggung jawab untuk menjalankannya.

Efeknya terasa nyata. Beberapa hari setelah pelajaran, antrean di asrama jadi lebih tertib. Anak-anak saling mengingatkan kalau ada yang nyelonong.

Apa yang Saya Rasakan Sebagai Guru

Bagi saya pribadi, momen paling berharga adalah ketika anak-anak benar-benar terlibat. Mereka tertawa, berdebat, mencoba, gagal, lalu bangkit lagi.

Biasanya, kalau saya jelaskan teori Pattern Recognition pakai buku atau slide, wajah mereka datar. Tapi kali ini, mereka punya cerita sendiri untuk dibagikan. Mereka merasakan bahwa pola bukan cuma ada di komputer, tapi juga di kehidupan sehari-hari.

Dan ternyata, pelajaran sederhana dari antrean bisa menumbuhkan empati dan tanggung jawab sosial. Itu hal yang nggak bisa lahir dari hafalan semata.

Hasil yang Terlihat

Dari pembelajaran ini, saya bisa melihat beberapa hal:

  1. Anak-anak lebih aktif. Diskusi jadi hidup karena mereka bicara dari pengalaman nyata.

  2. Pemahaman lebih kuat. Pattern Recognition bukan lagi istilah asing, tapi sesuatu yang mereka alami sendiri.

  3. Karakter berkembang. Kesadaran sosial meningkat. Mereka lebih peduli untuk antre tertib.

  4. Kreativitas tumbuh. Tanpa komputer pun, mereka bisa bikin simulasi algoritma sederhana dari kertas atau role play.

Kesimpulan

Pengalaman ini mengajarkan saya bahwa pembelajaran Informatika tidak harus selalu berbasis komputer. UbD membantu saya tetap fokus pada tujuan akhir, Experiential Learning membuat pembelajaran lebih nyata dan seru, sedangkan SEL menambahkan dimensi manusiawi yang sangat penting.

Anak-anak tidak hanya paham apa itu pola, tapi juga mengerti nilai dari pola itu untuk kehidupan bersama. Dan yang lebih penting, mereka belajar sambil senang.


Rekomendasi untuk Guru Lain

  • Coba gunakan UbD agar pembelajaran tidak kehilangan arah.

  • Jangan takut mengajak anak belajar lewat pengalaman sederhana di sekitar mereka.

  • Masukkan SEL agar pembelajaran lebih utuh: bukan cuma otak yang terisi, tapi hati juga tersentuh.

  • Kalau fasilitas digital terbatas, manfaatkan aktivitas sehari-hari. Justru di situlah konteksnya lebih mudah dirasakan anak-anak.

Agenda

25
Jun 2025
time : 15:11
Agenda is expired

Info Sekolah

SMAIT As-Syifa Boarding School Wanareja

NPSN 20404xxx
Blok Lw. Peuris RT/RW 07/02, Wanareja, Kec. Subang, Kabupaten Subang, Jawa Barat 41211
PHONE6281222111454
EMAILsmait-wanareja@assyifa-boardingschool.sch.id